Senin, 25 Februari 2019

KISAH KAPTEN UDARA R. MOELJONO (MULJONO)


                                      

R.Moeljono (Muljono) adalah putra pasangan Mas Sajid Sastrodihardjo dan Rr. Moedilah, Rr. Moedilah adalah putri dari R.Soeparman Hardjo Koesoemo bin R. Kyai Sosroredjo ing Dolopo bin Kyai Ageng Gadjah Surengpati Wedono Prajurit ing Madiun.

MISI SERANGAN UDARA PERTAMA YANG DILAKUKAN BERSAMA AURI UNTUK MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 

Dalam melaksanakan agresinya, Belanda berusaha mengintimidasi dan memaksa kedudukan Indonesia makin mundur ke pedalaman, serta menghancurkan potensi-potensi kekuatan udara Republik Indonesia diberbagai daerah. Seluruh pangkalan udara Republik Indonesia diserang secara serempak, mereka bergerak dengan mengandalkan pesawat-pesawat tempur P-5 Mustang dan P-40 Kitty Hawk serta pesawat pembom B-25/B-26.
Penyerangan terhadap pangkalan-pangkalan udara Republik Indonesia, yang saat itu masih dalam proses perintisan, tentunya dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan Angkatan Udara Republik Indonesia, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan serangan udara terhadap Belanda. Demikian pula halnya dengan Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, tidak luput dari sasaran serangan Belanda.
Serangan Belanda di Pangkalan Udara Maguwo, dilaksanakan secara bergelombang. Serangan awal dilancarkan pada pagi hari tanggal 21 Juli 1947, tetapi serangan awal ini mengalami kegagalan, karena secara kebetulan cuaca di atas kota Yogyakarta berkabut tebal sehingga Belanda tidak mampu melaksanakan serangan. Kegagalan tersebut tidak mengurangi usaha Belanda untuk menghancurkan Maguwo, karena pada siang harinya Belanda menyerang kembali. Selama 40 menit, empat buah pesawat pemburu Belanda menyerang dengan menjatuhkan beberapa bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur, yang menyebabkan timbulnya kebakaran di beberapa tempat, namun pesawat yang telah disembunyikan sebelumnya luput dari serangan Belanda.

Pukul 14.10 WIB tanggal 23 Juli 1947, Belanda kembali menyerang lapangan terbang Maguwo. Pesawat-pesawat pemburu Belanda melepaskan tembakan mitraliur dan menjatuhkan granat tangan. Serangan Belanda ini mendapat perlawanan dari anggota AURI, satu pesawat Belanda kena tembak dan melarikan diri. Dua hari berikutnya, yakni pada 25 Juli 1947 pukul 14.30 WIB, kembali Maguwo diserang oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda. Meskipun demikian perlawanan kita dari bawah tidak kendor sedikitpun. Dalam pertempuran ini satu pesawat Belanda terkena tembakan pasukan penangkis serangan udara dan melarikan diri kearah Solo.
Menjelang Magrib tanggal 25 Juli 1947, Belanda kembali melancarkan serangan berikutnya. Kali ini AURI mengalami kerugian yang sangat besar, karena pesawat-pesawat tempur Belanda menemukan pesawat-pesawat AURI yang sedang di run up. Pada serangan yang kelima kalinya ini, beberapa pesawat Cukiu dan Cureng AURI hancur, bahkan satu-satunya pesawat pembom AURI yang tersisa, yaitu Pangeran Diponegoro I ikut hancur.
Serangan-serangan Belanda yang tidak beraturan tersebut, menunjukan bahwa Belanda berusaha keras untuk melumpuhkan dan menghancurkan kekuatan udara Republik Indonesia. Penghancuran sasaran yang diperkirakan menjadi tulang punggung kekuatan udara Republik Indonesia, dianggap Belanda sebaga salah satu cara terbaik dalam mencegah Pangkalan Udara Republik Indonesia untuk melakukan serangan, yang akan mengancam kedudukan maupun menyerang daerah yang baru saja diduduki Belanda.
Serangan udara Belanda atas kekuatan udara Republik Indonesia dapat dikatakan berhasil, sebagian besar hasil pembinaan kekuatan udara Republik Indonesia yang telah dibangun selama kurang lebih dua tahun setelah kemerdekaan hampir dapat dilumpuhkan. Beberapa pangkalan udara di Pulau Jawa dapat diduduki, Pangkalan Udara Bugis (Malang) dan Kalijati dapat dikuasai Belanda, selain itu pesawat terbang yang ada di Pangkalan Udara Maospati, Panasan, dan Cibeureum banyak yang dihancurkan Belanda, sedangkan di Pangkalan Udara Maguwo hanya tersisa dua Cureng, satu Guntei dan satu Hayabusa.

Setelah Belanda melancarkan agresinya, fasilitas penerbangan dan pesawat-pesawat yang telah diperbaiki oleh para tehnisi Angkatan Udara Republik Indonesia berhasil dihancurkan Belanda, bahkan beberapa pangkalan udara berhasil dikuasai oleh Belanda. Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak mengendorkan semangat para pendahulu TNI Angkatan Udara, justru menjadi motivasi untuk terus berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dengan berbekal empat pesawat yang tersisa di pangkalan udara Maguwo, para pendahulu TNI Angkatan Udara melakukan perlawanan dan melancarkan serangan balik terhadap daerah-daerah yang berhasil diduduki Belanda.

Gagasan untuk melakukan pembalasan lewat udara terhadap kedudukan Belanda, menjadi pemikiran utama para pemimpin Angkatan Udara, terutama bentuk tindakan balasan yang akan dilaksanakan, karena kesiapan pesawat yang ada tidak memadai, dan kemampuan terbang operasional para kadet penerbang saat itu terbatas pada penerbangan pengintaian. Atas dasar itu, maka Komandan Sekolah Penerbang Komodor Muda Udara A. Adisutjitpo, merasa sayang kalau para penerbang muda ini “gugur”, beliau menginginkan agar mereka lebih dulu ditingkatkan kecakapan terbangnya untuk mampu menerbangkan pesawat tempur, bahkan tercetus kata-kata beliau bahwa andai kata harus mengadakan serangan balas akan dilakukan oleh beliau sendiri. Gagasan beliau tersebut disampaikan sebelum berangkat ke luar negeri.
Tetapi situasi waktu yang sangat mendesak untuk melakukan serangan balasan, maka setelah Komodor Muda Udara Adisutjipto dan rombongannya berangkat melaksanakan missinya ke luar negeri, para teknisi di Maguwo secara diam-diam sibuk dengan melaksanakan modifikasi dan mengadakan pemeriksaan beberapa pesawat terbang seperti Hayabusha, Cureng dan Guntai.

Pesawat-pesawat tersebut dipersiapkan untuk dijadikan pesawat pembom, kegiatan tersebut memang sangat dirahasiakan. Dibawah pimpinan Basir Surya, para teknisi memeriksa dan memperbaiki pesawat-pesawat yang dapat dipersiapkan untuk melaksanakan misi operasi. Sedangkan pada bidang teknik persenjataan dipimpin oleh Opsir Muda Udara I Eddie Sastrawidjaja. Sementara itu pimpinan Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mengadakan rapat-rapat tertutup.

Sejalan dengan proses penyiapan pesawat oleh para tehnisi AURI, pada tanggal 28 Juli 1947 lebih kurang pukul 19.00, seorang kurir ke Mess Perwira di Wonocatur yang membawa perintah KSAU yang ditujukan kepada empat orang kadet AURI, yaitu Kadet Penerbang R.Muljono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoadji agar menghadap Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Panggilan yang sangat dirahasikan itu menyangkut rencana operasi udara yang akan ditugaskan kepada keempat penerbang tersebut. Rencana operasi ini disampaikan sendiri oleh Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma selaku Perwira Operasi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Operasi udara itu berupa pengeboman atas kota-kota yang menjadi kubu musuh di Jawa Tengah. Pelaksanaannya tidak bersifat perintah tetapi sukarela, namun demikian tidak ada seorang pun dari para penerbang itu yang menolak tawaran tersebut.

Pada kesempatan itu, ditunjuk pula para penembak udaranya (air gunner). Mereka adalah Kaput, Dulrachman dan Sutardjo. Ketiga air gunner tersebut merupakan teknisi berpangkat Bintara, yang belum pernah mendapat pendidikan “gunnery” dari AURI. Modal utama mereka adalah keberanian dan bersedia untuk berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pada pertemuan tersebut, KMU Halim Perdanakusuma menjelaskan secara rinci rencana penyerangan kedudukan Belanda di Semarang dan Salatiga, yaitu :
1. Kadet Udara I R.Moeljono ditugaskan menyerang Semarang yang disertai penembak udara Sersan Udara Dulrachman menggunakan pesawat pembom tukik Guntei.
2. Kadet Udara I Bambang Saptoadji ditugaskan mengawal pesawat pembom Guntei menggunakan pesawat Hayabusha.
3. Kadet Udara I Sutardjo Sigit didampingi penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Sersan Udara Kaput menyerang Salatiga menggunakan pesawat Cureng.

Sasaran pemboman dan tembakan ditentukan hanya pada kedudukan dan markas militer lawan, penerbangan yang dilaksanakan harus menghindari Boyolali, karena pasukan Belanda telah masuk ke daerah tersebut. Di samping itu, para penerbang tidak diperbolehkan untuk terbang langsung menuju sasaran, tetapi harus membuat dog-leg, yaitu terbang ke arah timur, baru kemudian belok ke kiri menuju sasaran, dengan tetap memperhatikan taktik pendadakan.

Penyerangan akan dilaksanakan sedini hari mungkin, selama kurang lebih satu jam, untuk menghindari penyergapan dan pengejaran lawan. Apabila serangan selesai, para penerbang diinstruksikan untuk segera kembali ke Maguwo, dengan tree top level (terbang serendah mungkin) dan hedge-hopping. Teknik ini dimaksudkan untuk mengurangi ruang gerak pesawat musuh yang jauh lebih tinggi kecepatanya, apa bila mereka mengejar dan mau menyergap.

Selesai briefing, mereka bergabung dengan para tehnisi pesawat yang sedang berusaha memperbaiki dan mempersenjatai pesawat yang akan digunakan. Untuk melengkapi persenjataan Guntei, para teknisi tidak mengalami kesulitan, karena pesawat jenis ini termasuk pesawat tempur.
Pesawat pembom Guntei yang berhasil diperbaiki mampu membawa bom seberat 400 kg. di samping itu, juga dipasang sebuah senapan mesin yang diletakan di belakang penerbang.

Sedangkan pada pesawat Cureng, para teknisi harus bekerja keras, karena pesawat ini digunakan sebagai pesawat latih. Berkat ketekunan para tehnisi, pesawat cureng berhasil dimodifikasi menjadi pesawat pembom, dengan menempatkan sebuah bom seberat 50 kg di bawah kedua sayapnya. Untuk melepaskan bom-bom tersebut, disebelah kiri tempat duduk penerbang dibasang tiga buah handle (pegangan) yang terbuat dari kayu dengan warna yang berbeda-beda. Yang kiri warna Merah untuk melepaskan bom di bawah sayap kiri, yang tengah warna Kuning untuk melepaskan kedua bom sekaligus, yang kanan berwarna Hijau untuk melepaskan di bawah sayap kanan.
Selain dilengkapi bom, pesawat Cureng dilengkapi pula dengan senapan mesin. Dari kedua pesawat Cureng yang disiapkan, hanya satu pesawat yang bisa dipasang senapan mesin, karena satu pesawat Cureng yang akan diawaki Sutardjo Sigit tidak ada tempat kedudukan (mounting)-nya untuk memasang senapan mesin, sehingga pesawat ini sama sekali tidak dapat membela diri apabila disergap musuh. Sebagai gantinya, pesawat Cureng tersebut diberi bom-bom bakar yang dibungkus dengan kain Blacu. Sedangkan pesawat Hayabusha tidak jadi digunakan, karena adanya kerusakan pada system persenjataanya. Meskipun para juru teknik telah berusaha dengan bekerja keras sampai pukul 01.00 dini hari tanggal 29 Juli 1947, kerusakan pada sistim persenjataan pesawat Hayabusha belum juga dapat diatasi. Dengan demikian Kadet Penerbang Bambang Saptoadji merasa sangat kecewa. Setibanya di Mess Wonocatur tempat mereka disiagakan penuh, Ia mendatangi ketiga kadet penerbang lainnya untuk dibujuk agar salah seorang bersedia diganti. Mereka tidak mau melepaskan tugas yang telah dipercayakan pada pundak masing-masing.

Sebelum melaksanakan misi operasi penyerangan, ketiga kadet penerbang hanya diberi kesempatan untuk beristirahat sekitar 2 jam.
Pada pukul 03.00 dini hari, mereka dibangunkan dan pukul 04.00 sudah harus siap di lapangan terbang Maguwo untuk menerima briefing dari kepala teknisi Bapak Sudjono, yang sebelumnya tidak mengetahui akan adanya serangan balas AURI terhadap Belanda. Bapak Sudjono menjelaskan tentang tugas yang akan dilakukan para teknisi setelah pesawat kembali dari melakukan penyerangan. Briefing berikutnya adalah dari Meteo yang dilakukan oleh Bapak Patah dengan menggunakan peta yang dipakai di sekolah dasar yang memberikan gambaran mengenai kabut rendah, angin tenang dan lainya. Sedangkan mengenai kesiapan pemadam kebakaran diberikan oleh Bapak Djunaedi.

Pada pukul 05.00, ketiga pesawat mulai taxi-out ke posisi take-off, yang sebelumnya dilepas oleh KSAU Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Ketiga pesawat take off secara bergantian, Pesawat Guntei yang diterbangkan oleh R.Moeljono dan Dulrachman sebagai "air-gunner" terbang terlebih dahulu. Kemudian disusul pesawat Chureng yang dikemudikan oleh Sutardjo Sigit yang dibantu Sutardjo sebagai "air-gunner". Selanjutnya Suharnoko Harbani dengan Kaput juga menggunakan pesawat Chureng merupakan pesawat yang terakhir mengangkasa.

Untuk membantu tinggal landas, dipasang sebuah lampu sorot pada ujung landasan di belakang pesawat, maksudnya agar mendapat cukup penerangan. Dengan demikian landasan bisa nampak terang oleh sorot lampu tersebut dan memberi sedikit keuntungan bagi pilot untuk menentukan batas pesawat baru mulai mengudara. Mereka tidak diperkenankan menggunakan lampu dan peralatan lain dalam pesawat untuk menjaga kerahasiaan operasi yang sedang dilaksanakan. Ketiga pesawat tidak dibekali peralatan navigasi dan komunikasi, masing-masing kru pesawat hanya dibekali senter yang berfungsi sebagai alat komunikasi apa bila diperlukan. Walaupun para penerbang ini belum berpenglaman terbang malam, dengan penuh ketekunan dan kewaspadaan mereka bergiliran meninggalkan landasan terbang Maguwo secara lancar.

Pemboman Kota Semarang
Dengan menggunakan pesawat terbang pembom jenis Guntai, Kadet Penerbang I R.Moeljono memulai pelaksanaan operasi udara atas kota Semarang sebagai sasaran urutan pertama. Rute penerbangan yang dipakai dalam operasi udara ini memakai cara yang paling mendasar dan sederhana dalam ilmu navigasi yaitu dengan cara dead reckonning yang memperhitungkan arah dan kecepatan angin, keadaan cuaca dan lain sebagainya, karena penerbangan tersebut dilakukan pada malam hari yang tidak memungkinkan para penerbang mengamati tanda-tanda di daratan (land-marks) untuk dipakai sebagai pedoman. Para awak pesawat hanya dibekali lampu senter (battery) sebagai pertolongan dan bantuan sekedar apabila diperlukan penggunaannya. Komunikasi antar awak ataupun antara pesawat satu dan lainnya hanya dilakukan dengan isyarat sandi yang dilakukan lewat sinar lampu senter tersebut, itupun kalau terpaksa saja.
Untuk menuju kesasaran para penerbang diinstruksikan tidak langsung menuju sasaran, tetapi menempuh suatu rute dogleg, yang telah diplot oleh komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Untuk pesawat Guntai ke Semarang dan pesawat Cureng ke Salatiga. Dogleg tersebut berupa terbang kejurusan timur selama sekian puluh menit, kemudian belok sekian derajat untuk langsung menuju sasaran.

Setelah take off, Kadet Penerbang R.Moeljono menunggu sejenak, setelah terlihat pesawat Cureng dari kejauhan, maka Ia segera melesat langsung menuju sasaran di Semarang. Secara fisik serangan dalam rangka operasi udara terhadap kota Semarang dilakukan pada hari Selasa, 29 Juli 1947 pukul 06.10 pagi dan pesawat Guntai ini menyerang dari arah utara. Menghadapi arah posisi yang demikian, maka Kadet Penerbang R.Moeljono, menggunakan taktik pendadakan (surprise) dengan mengambil titik awal arah serangan yang dianggap paling aman. Setelah pesawat Guntai ini mendekati daerah sasaran, tidak langsung melakukan serangan udara dengan segera, tetapi terlebih dahulu membelok untuk mengitarinya. Kesempatan tersebut dipakai untuk memahami medan dan menjajaki kemungkinan sasaran pemboman dan tembakan yang akan dituju. Setelah memasuki kawasan di atas laut Jawa, berulah pesawat mi membelok kembali kearah selatan dan menyerang Semarang dari arah utara.

Siasat ini tidak diketahui sama sekali oleh Belanda. Selain itu Belanda memang tidak memperkirakan, bahwa pesawat RI akan mampu hadir di atas wilayah kekuasaannya, apalagi mewujudkan suatu bentuk serangan. Di luar dugaan dan perkiraan kemampuan tersebut, ternyata pagi itu salah satu pusat kekuatan Belanda di Jawa harus menghadapi serangan udara Republik Indonesia. Selain itu perkiraan tepat telah diambil oleh Kadet Penerbang R.Moeljono bahwa pertahanan udara musuh akan kebobolan dengan serangan yang datang dari arah laut.

Setelah selesai melakukan operasi pendadakan ini, pesawat segera diarahkan langsung kembali ke pangkalan semula. Kadet Penerbang R.Moeljono baru mendaratkan pesawat Guntai-nya pada urutan terakhir, setelah kedua pesawat Cureng Kadet Penerbang Suharnoko Harbani dan Kadet Penerbang Soetardjo Sigit memasuki landasan Pangkalan Udara Maguwo, karena misi Kadet Penerbang I R.Moeljono mengambil jarak yang terjauh dibandingkan dua misi operasi udara yang lain.

Pemboman Kota Salatiga
Setelah pesawat pembom Guntai yang diterbangkan oleh Kadet Penerbang R.Moeljono berhasil tinggal landas dan mengudara, maka segera Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mengambil posisi untuk bersiap-siap berangkat. Sinar Lampu sorot yang sangat terang dan menyinari landasan dari ujung ke ujung, menjadi pedoman dan arah dalam melaksanakan tinggal landas di pagi hari yang gelap dan dingin itu. Pesawat terasa lebih berat, karena adanya muatan tambahan dua bom masing-masing seberat 50 kg yang digantungkan pada kedua sisi sayap dan beberapa buah bom bakar. Untuk itu diperlukan kecepatan lepas landas yang lebih tinggi supaya lebih aman, sehingga suatu sudut tanjakan tertentu dapat dipenuhi.

Disisi lain tanjakan pesawat harus diusahakan jangan sampai terlampau terjal agar kecepatan tidak berkurang dan mencapai stalling speed yang dapat mengakibatkan pesawat jatuh. Pesawat berhasil naik dengan sempurna dan dapat mengatur keseimbangan setelah pada ketinggian yang cukup. Kadet Penerbang Soetardjo Sigit selaku flight leader membuat satu lingkaran untuk memberi kesempatan waktu kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani agar bergabung dalam formasi menuju ke sasaran.
Selain itu, untuk menerbangkan pesawat jenis ini diperlukan suatu keuletan dan keterampilan para penerbangnya, karena pesawat ini tidak dibekali lampu penerangan dan radio sebagai sarana perhubungan. Mereka hanya dibekali lampu senter saja dengan isyarat-isyarat tertentu yang diperlukan untuk berhubungan. Sehingga usaha Kadet Penerbang Soetardjo Sigit untuk memberikan kesempatan kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani supaya mengikutinya tidak berhasil. Dalam kegelapan di pagi buta tersebut dengan menyalakan lampu senter yang dipegangnya, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mencoba mengarahkan sinarnya ke segala penjuru sekelilingnya dengan harapan dapat dilihat oleh rekannya. Ternyata Kadet Penerbang Suharnoko Harbani tidak mengikutinya. Setelah jelas tidak ada pesawat yang mengikutinya, maka Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mengambil keputusan untuk melaksanakan misi operasi ini secara sendirian, meskipun hal tersebut berarti bertambahnya resiko, karena tidak adanya wing man menyebabkan pula tidak adanya senjata penangkis bila diserang pesawat musuh, sebab pesawat Kadet Penerbang Soetardjo Sigit tidak dilengkapi dengan senapan mesin penangkis serangan musuh.
Sama halnya dengan pesawat Guntei, setelah take off, pesawat Cureng juga membuat gerakan dogleging, yaitu mula-mula terbang lurus ke arah timur untuk beberapa menit, baru kemudian membelok ke kiri dalam jumlah derajat tertentu kemudian menuju ke arah sasaran, setelah dijalani beberapa menit akan sampai pada sasaran kota Salatiga, gerakan ini di maksudkan untuk menghindari kota Boyolali.

Siasat pendadakan di Salatiga cukup berhasil, karena setelah sampai diatas kota Salatiga, lampu-lampu listrik masih menyala, tetapi kelihatan sepi. Seperti juga operasi udara di kota Semarang, Belanda sama sekali tidak menyangka dan memperkirakan kemampuan RI untuk mengadakan serangan balas ke Salatiga. Sesuai petunjuk sebelumnya, sasaran yang dituju ialah daerah di sebelah utara kota Salatiga, yang diperkirakan sebagai pusat kekuatan militer Belanda. Untuk mengorientasi sasaran, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit membuat satu kali putaran, setelah sasaran yang diinginkan sudah ampak, yang disebut dalam pengarahan dan dikatakan sebagai Markas Militer Belanda, ia segera membuat bombing run yang pertama.
Di dalam pesawat ada tiga tangkai pegangan (handle) kayu yang berturut-turut dari kiri ke kanan yaitu berwarna merah, kuning dan hijau. Ia menukikkan pesawatnya menuju sasaran kemudian menarik handle yang merah untuk melepaskan bom di bawah sayap sebelah kiri, pesawat oleng ke kanan, karena terganggu keseimbangannya. Sekejap api menyembur jauh di belakang bawah yang disusul dengan suara ledakan bom yang dijatuhkan.
Dengan menjaga keseimbangan pesawatnya, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit bermaksud membuat bombing run yang kedua. Ia menarik handle yag berwarna Hijau untuk melepaskan bom sebelah kanan, namun gagal karena tangkai pegangan patah. Serangan berikutnya ditempuh dengan cara menukikkan kembali pesawatnya, akan tetapi gagal juga, karena handle yang di tengah berwarna kuning ketika ditarik juga patah. Handle yang berwarna kuning tersebut berfungsi untuk melepaskan kedua buah bom sebelah kiri dan kanan sekaligus. Usaha ketiga kalinya ini ternyata gagal lagi, sedangkan bom masih tetap tergantung dan tidak terlepas.

Kadet Penerbang Soetardjo Sigit tetap berusaha untuk melepaskan bom yang tersisa dan masih tergantung di bawah sayap sebelah kanan dengan cara menarik kabel yang terkait dengan bom agar dapat terlepas. Tetapi untuk ini diperlukan usaha khusus tanpa mengurangi kemampuan mengendalikan pesawat, apalagi saat itu berada di atas wilayah musuh, yang sewaktu-waktu dapat menembaknya. Untuk menarik kabel, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit harus menundukkan kepala serendah-rendahnya, sehingga tidak dapat memandang ke luar cockpit. Ketiga kabel tersebut akhirnya berhasil diraih dengan tangan kirinya sambil tangan kanannya mengendalikan kemudi pesawat. Dengan menahan napas ditariknya kuat-kuat ketiga kabel tersebut dan akhimya berhasil juga.

Hari mulai terang matahari sudah mulai memancarkan cahayanya di cakrawala timur, tiba-tiba ia teringat bahwa juru tembaknya masih membawa bom bakar satu peti penuh. Dibuatnya satu puteran terbang lagi sambil memberi isyarat kepada juru tembak yang kini menjadi juru bom untuk siap-siap melemparkan bomnya. Ia memberi isyarat agar bomnya dilemparkan, supaya pasti dapat meledak kunci pengamannya harus dibuka satu persatu.

Pemboman Kota Ambarawa
Pada rencana operasi yang telah digariskan sebelumnya, bahwa untuk menyerang Salatiga disiapkan dua buah pesawat Cureng. Sebagai pimpinan misi ditunjuk Kadet Penerbang Soetardjo Sigit, sedangkan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani bertindak sebagai wing man. Tetapi rencana ini harus juga mengalami perubahan karena beberapa faktor dan situasi yang terjadi di medan operasi.

Setelah Kadet Penerbang Suharnoko Harbani tinggal landas dengan mengikuti prosedur keberangkatan pesawat-pesawat sebelumnya, mulailah timbul masalah, Kadet Penerbang Suharnoko Harbani telah keliru membututi sinar api yang keluar dari mesin pesawat Guntai yang diterbangkan oleh Kadet Mulyono, karena mengira pesawat tersebut adalah Cureng yang diterbangkan oleh Kadet Penerbang Soetardjo Sigit. Tanpa ragu-ragu Kadet Penerbang Suharnoko Harbani mengejar tanda tersebut, tetapi ternyata makin lama makin jauh ketinggalan dan akhirnya tidak keihatan lagi. Hal ini memang sudah sewajarnya, karena kecepatan pesawat Guntai lebih tinggi dari pesawat Cureng, maka pesawat Guntai diberi tugas beroperasi di daerah sasaran yang lebih jauh, yaitu kota Semarang.

Setelah kehilangan sinar api pesawat Guntai, dan tidak berhasil menemukan pesawat Cureng Kadet Penerbang Soetardjo Sigit. Kadet Penerbang Suharnoko Harbani segera berusaha menentukan posisi pesawatnya, mengingat keterbatasan kemampuan dan waktu operasi yang akan dilaksanakan. Saat-saat kritis yang perlu segera diatasi tiba-tiba dia melihat sebuah danau dari kota di dekatnya. Dia segera menganalisanya dan menarik suatu kesimpulan bahwa kota tersebut adalah Ambarawa, yang berdekatan dengan Rawapening. Dengan cepat Ia memutuskan untuk memilih kota Ambarawa sebagai sasarannya, karena kota tersebut juga telah diduduki Belanda.
Kota Ambarawa tidak termasuk dalam rencana operasi, memang bukan sasaran yang direncanakan semula. Setelah yakin bahwa daerah yang dilaluinya merupakan daerah kekuasaan lawan, dia kemudian tidak ragu-ragu lagi memulai serangan udara. Ketinggian pesawat mencapai kurang lebih 3.000 kaki ke atas untuk sekedar mengadakan terbang keliling sambil mengamati sasaran yang akan dituju. Setelah mendekati sasaran, pesawat kemudian menukik ke bawah kemudian melepaskan bom secepatnya. Setelah itu harus terbang serendah-rendahnya untuk mengelakkan kemungkinan serangan lawan, yang bisa saja saat itu telah mengetahui keberadaanya.
Setelah selesai melaksanakan serangan udara di atas kota Ambarawa, segera diputuskan untuk kembali ke pangkalan semula. Sementara itu timbul keraguan sejenak, rute mana yang akan dipakai/diambil untuk perjalanan kembali tersebut. Meskipun dari Ambarawa dapat ditempuh langsung ke arah selatan sehingga dapat memperpendek jarak untuk tujuan Maguwo, Yogyakarta. Namun pertimbangan lain lebih memastikan, ialah bahwa Pimpinan Operasi telah menekankan agar rute penerbangan kembali sama dengan ketika pemberangkatannya. Tampak faktor keamanan menjadi bahan pertimbangan penting sehingga hal ini perlu ditegaskan lagi sebelum operasi dilaksanakan.

Dengan demikian maka pesawat kembali melalui rute semula, yaitu menuju arah antara Boyolali dengan danau di Panasan, baru kemudian menuju ke Maguwo. Walaupun mempunyai rute alternatif melalui Magelang tetapi tidak dipilihnya karena daerah tersebut lebih sulit kondisi geografi dan cuacanya.
Tindakan berani dari penerbang-penerbang RI dalam memberi serangan balas sungguh mengagumkan. Lebih-lebih jika diingat bahwa tugas penerbangan semacam itu baru pertama kali mereka lakukan. Apalagi kalau mengingat keadaan pesawat yang serba terbatas kondisinya. Meskipun Taktis dan strategi serangan itu tidak menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, namun serangan itu memberi pengaruh besar terhadap situasi dan kondisi saat itu, karena sejak itu Belanda melakukan penggelapan penerangan pada malam hari di seluruh Jawa Tengah.

Bahkan kejadian yang ditimbulkan atas keberhasilan operasi udara ini, telah menarik perhatian opini dunia luar. Radio Singapura telah menyiarkan kejadian tersebut sebagai berita penting (Head Line) dalam acara siarannya dan disebutkan mungkin sebagai kegiatan yang pertama dilakukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia. Pokok acara yang disiarkan oleh radio Singapura tersebut adalah, bahwa AURI telah menyerang pertahanan Belanda di Semarang dan Salatiga.

 
R. Muljono (tengah) nomor tiga dari kanan
(Dari kiri ke kanan : Sutardjo, Dulrachman, Kaput, Muljono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani)


 
Pesawat Guntei

JEJAK PESAWAT PERTAMA TNI AU: P-51 MUSTANG, Si Cocor Merah
Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari perjuangan bangsa Indonesia, yang berarti bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah menjadi negara yang berdaulat dan bebas menentukan nasibnya sendiri dalam suatu kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun pernyataan kemerdekaan yang diproklamirkan tersebut, bukanlah akhir dari perjuangan bangsa Indonesia, karena Kolonial Belanda baru mengakui kedaulatan Negara Indonesia pada 27 Desember 1949 sebagai tindak lanjut dari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haaq, Belanda tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 yang memaksa Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan kedaulatan ini kemudian ditandai dengan penyerahan kekuasaan, baik sipil maupun militer kepada bangsa Indonesia. Salah satu fasilitas militer yang diserahkan adalah penyerahan pangkalan-pangkalan udara beserta fasilitasnya, yang dilaksanakan secara bertahap dan sebagai puncaknya adalah penyerahan Markas Besar Penerbangan Militer Belanda atau Hoofd Kwartier Militaire Luchtvaart (HKML) di Jalan Merdeka Barat Nomor 8 Jakarta Pusat kepada Angkatan Udara Republik Indonesia Serikat (AURIS) tanggal 27 Juni 1950.

Dengan telah diserahkannya seluruh fasilitas Militaire Luchtvaart (ML) kepada Pemerintah Indonesia, maka sejak saat itu AURI sudah memiliki kekuatan udara dengan berbagai macam jenis pesawat, diantaranya adalah pesawat tempur P-51D Mustang buatan Amerika Serikat, yang kemudian melalui Surat Keputusan KSAU Nomor 28/II/KS/51 tanggal 21 Maret 1951, P-51 Mustang ditempatkan di Skadron 3 Pemburu Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta dan selanjutnya dipindahkan ke Lanud Abdulrachman Saleh, Malang pada 17 Juli 1962 dibawah Wing Operasional 002 Taktis.

P-51 Mustang adalah pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal pada era perang dunia ke dua. Mustang menjadi satu-satunya pesawat tempur yang mampu melangsungkan serangan secara mandiri maupun melaksanakan tugas pengawalan terhadap pesawat pengebom. Karena kehandalannya, Mustang diproduksi ribuan dan digunakan oleh banyak angkatan udara, termasuk Indonesia. Meskipun saat itu Indonesia menerima Mustang sebagai hibah dari Belanda, namun Mustang telah menjadi tulang punggung AURI dalam menjalankan berbagai operasi militer diwilayah NKRI, bahkan mustang digunakan Indonesia untuk melawan Belanda dan sekutunya dikemudian hari.
Untuk mengawaki pesawat P-51D Mustang yang diserahkan tersebut, AURI mendatangkan para instruktur dari negara asal pesawat maupun instruktur-instruktur yang sebelumnya merupakan personel Militaire Luchtvaart. Latihan yang dilaksanakan berupa penembakan udara ke darat dan dari udara ke udara, dengan menggunakan peralatan seadanya. Melalui latihan yang terus dilakukan, maka kemampuan dan keterampilan para penerbang tempur AURI semakin meningkat, sehingga mampu membentuk satu tim aerobatik dengan menggunakan pesawat tempur P-51D Mustang.

Pembentukan tim aerobatik TNI Angkatan Udara yang pertama ini berawal dari latihan formasi pesawat yang dibimbing oleh salah satu instruktur penerbang dari Amerika Serikat bernama Leo Nooms. Latihan yang diberikan adalah Red Race, kemudian formasi String, yaitu terbang berurutan lurus ke belakang, dengan instruktur di depan dan diikuti oleh penerbang di belakangnya. Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai tingkat mahir.

Kemudian dilanjutkan latihan terbang formasi dengan dua pesawat, tiga sampai empat pesawat, dengan masing-masing pesawat saling berdekatan untuk melakukan gerakan bersama. Semua latihan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan sempurna, sehingga mendorong Leo Wattimena, Roesmin Noerjadin, Ignatius Dewanto, R.Moeljono, Hadi Sapandi dan Pracoyo, untuk membentuk tim aerobatik kebanggaan AURI pada waktu itu.
Tim aerobatik P-51D Mustang berlatih disela-sela kegiatan operasi, sehingga tim ini tidak pernah muncul di depan publik, dan sangat disayangkan salah satu penerbangnya yaitu R.Moeljono, gugur dalam kecelakaan aerobatik di Surabaya dalam rangka atraksi di Kota Surabaya pada 12 April 1951 selanjutnya jasadnya dikebumikan di Surabaya. Meskipun tim aerobatik P-51D Mustang tidak pernah tampil di depan umum dan tidak memiliki nama khusus seperti tim-tim aerobatik TNI Angkatan Udara lainnya, namun tim ini telah menjadi inspirasi bagi penerbang-penerbang AURI berikutnya untuk membentuk tim aerobatik sejenis, sehingga tim aerobatik P-51D Mustang dapat dikatakan sebagai perintis atau the pioneer dari tim-tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia, khususnya TNI Angkatan Udara.
Kapten Udara Mulyono adalah putra Indonesia kelahiran Pare, Kediri pada tanggal 13 Maret 1923, semasa hidupnya ia pernah bekerja pada jawatan kereta api Madiun sebagai Hoofdmachinist di zaman Belanda sampai Zaman Jepang ( tahun 1942-1945).

Setelah menyelesaikan pendidikan H.I.S pada tahun 1936, kemudian melanjutkan pada K.E.S sebuah Sekolah Tehnik Belanda di Surabaya selesai tahun 1941. Setelah tamat K.E.S Muljono masuk M.L.D. ( Dinas Militer Belanda) di Surabaya dengan pangkat Letnan I Vliegtuig maker.
Pengabdian Muljono di AURI diawali di Sekolah Penerbang Yogjakarta yang di buka tanggal 15 November 1945. Ketika masuk sekolah penerbang ia sebagai Kadet, ia diberi pangkat Kadet Udara II. Setelah menyelesaikan pendidikan penerbang tahun 1947 ia ditempatkan di Pangkalan Udara Maospati Madiun dengan pangkat Opsir Udara III ( setingkat Kapten sekarang).
Kapten Udara Muljono gugur dalam suatu kecelakaan pesawat yang dipilotinya yakni pesawat Mustang F-340, hari itu Kamis tanggal 12 April 1951 menjelang senja kira-kira pukul 17.30. Kecelakaan terjadi di Surabaya tepatnya di desa Kedung Klinter, ketika AURI sedang mengadakan penerbangan serta demontrasi keliling jawa tepat pada ulang tahunnya ke lima. Jenazah Muljono dimakamkan di Taman Bahagia Surabaya.
Guna mengabadikan nama almarhum maka pada tanggal 16 Agustus 1952 di PAU Medan diresmikan Lapangan Olah Raga dengan nama Muljono. Begitu pula untuk mengabadikan pengabdiannya almarhum di AURI pada tanggal 7 Agustus 1982 di Lanud Iswahjudi telah diresmikan sebuah mess dengan nama Muljono yang diresmikan oleh Menhankam Pangab M. Yusuf.


Nama almarhum Kapten Udara Muljono juga diabadikan sebagai nama Lanud TNI AU di Surabaya. Mabes TNI AU melalui Surat Keputusan KSAU Nomor KEP/708/VII/2018 yang ditandatangani pada 11 Juli 2018, menginstruksikan perubahan 8 (delapan) Pangakalan TNI Angkatan Udara/Lanud. Delapan lanud yang berubah nama itu terdiri dari satu Lanud Tipe A, enam Lanud Tipe B, dan satu Lanud Tipe C. Satu diantaranya Lanud Tipe B adalah Lanud Surabaya (SBY) dirubah namanya menjadi Lanud Muljono (MUL). Penggantian nama Lanud merupakan komitmen TNI AU dalam menghargai jasa-jasa pahlawan kita, sehingga dapat memberikan kebanggaan bagi keluarga pahlawan dan memotivasi semangat juang prajurit TNI AU dalam melaksanakan tugas seperti yang disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Yuyu Sutisna, S.E., M.M. pada saat memimpin upacara serah terima jabatan dan pelantikan Komandan Lanud yang naik tipe serta peresmian penggantian nama Lanud di Biak, Papua, Kamis, 26 Juli 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DUKUH SANGGRAHAN TEMPAT ASAL IBUNDA PAHLAWAN NASIONAL H. Dr. R. SOEHARTO SASTROSOEYOSO

Ibundanya memiliki bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit, ternyata pekerjaan mulia tersebut menurun kepada putranya H. Dr. R. S...