Ibundanya memiliki bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit, ternyata pekerjaan mulia tersebut menurun kepada putranya H. Dr. R. Soeharto sang pendiri IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan seorang dokter pribadi Presiden Soekarno, beliau turut serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah sepantasnya beliau dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Dr. R. Soeharto adalah putra R. Sastrosuyoso adalah seorang Mantri lalu
menjadi Petani dan seorang Seniman, pandai menabuh gambang, tekun membaca
sastra Jawa, gemar menonton wayang kulit semalam suntuk, masa muda hingga
tuanya suka berpuasa dan berkelana, beliau wafat tanggal 12 Desember 1930, dan
dimakamkan di Purwoloyo, Solo. Beliau di masa akhir hidupnya tekun berprihatin,
makan, minum, dan tidur hanya sekedarnya saja, hal yang kadang menjadi salah
paham bagi istrinya (Ibunda Dr. R. Soeharto) hingga sang istri merasa harus
berjuang menghidupi anak-anak seorang diri, namun akhirnya sang istri sadar,
bahwa beliau telah mengikuti jejak Eyangnya yaitu Kyai Sosroredjo di Dolopo,
Kyai Sosroredjo sejak masa mudanya suka menjauhkan diri dari keduniawian, sudah
barang tentu jika dilihat dengan kacamata jaman sekarang, sikap hidup demikian
seakan-akan menelantarkan keluarga. R.
Sastrosuyoso ini adalah putra dari R. Prawiro Soeparto seorang Asisten Wedono
Dolopo beliau putra sulung Eyang Kyai Sosroredjo yang makamnya di Dolopo, dalam
catatan silsilah keluarga, R. Sastrosuyoso berputra putri 7 orang salah satunya
adalah Dr. R. Soeharto (Dokter pribadi Bung Karno-Presiden RI pertama).
Sedangkan Ibunda Dr. R. Soeharto
yaitu R. Ayu Harminah Sastrosuyoso adalah putri bungsu R. Soedarmo Sosroatmodjo seorang Wedono di
District (Kawedanan) Sine pada tahun 1875 - 1879 dan sebagai Wedono Ngrambe
pada tahun 1879, Ibunya mewarisi rumah, sawah, dan beberapa tegalan di Dukuh
Sanggrahan yang letaknya di Desa Kedunggudel. Pada tahun 1879 saat mengikuti
kehendak Ibunya, beliau pindah dari Tegalgondo tempat masa kecilnya untuk
menuju ke Dukuh Sanggrahan dan menempati rumah warisan di Desa Kedunggudel itu,
yang telah beberapa lama kosong. Di rumah itulah R. Ayu Harminah Sastrosuyoso
dilahirkan dan dibesarkan, beliau pandai dalam mengelola sawah dan cara
pengobatan tradisional, terutama penggunaan ramuan jamu guna pemeliharaan dan
pemulihan kesehatan keluarga, semasa di Tegalgondo beliau memiliki lahan
tanaman herbal dibelakang rumah yang dapat dipergunakan untuk keperluan bumbu
dapur dan pengobatan, bahan-bahan yang sudah dikeringkan disimpan didalam
botekan sebuah alamari dengan laci sebanyak 48 buah, beliau waktu itu disebut sebagai “dokter keluarga”
yang sering memberikan pelayanan pelayanan kesehatan kepada siapa saja, kiranya
bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit menurun kepada Dr. R.
Soeharto.
DUKUH SANGGRAHAN
Dukuh Sanggrahan terletak 60 km sebelah barat laut Madiun, waktu itu
stasiun terdekat ada di Walikukun, yang berjarak kira-kira 4,5 km. Desa
Kedunggudel terletak dikaki Gunung Lawu, gunung yang menjulang diperbatasan
prov. Jawa Timur dan prov. Jawa Tengah, diwaktu itu di lereng Gunung Lawu
terdapat banyak perkebunan tehhdan di
sekitar desa banyak terdapat budidaya perkebunan kapuk randu, kopi, dan karet. Halaman
rumah di Dukuh Sanggrahan Desa Kedunggudel sangat luas banyak ditanami berbagai
pohon diantaranya kemiri, kluwih, kopi robusta, tanjung, kantil, dan sawo
kecik, serta bunga-bungaan seperti kenanga, mawar, dan melati. Hasil di
pekarangan tersebut selain dipergunakan untuk bahan makanan dan minuman, juga
untuk bahan obat dan kosmetika.
Mengenai pembukaan tempat pemukiman Dukuh Sanggrahan dan sekitarnya hampir sama dengan cerita saat Eyang Kyai R. Sosroredjo membuka dan membabat untuk tempat pemukiman di Dolopo, waktu itu Eyang R. Soedarmo Sosroatmodjo yang menjabat Wedana Ngrambe di tahun 1879 diijinkan oleh Residen Madiun selaku Pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membedah hutan di sana seluas beberapa puluh hektar. Dr. R. Soeharto masih ingat dimasa kecil sebelum usia lima tahun sempat bertemu muka Eyang Putrinya yaitu R. Ayu Sosroatmodjo yang waktu itu sudah menjanda, yang mana saat diselenggarakan acara “angon putu”, hal yang membahagiakan bagi Eyang putri R. Ayu Sosroatmodjo dikunjungi oleh segenap anak cucu, baik dari Solo, Madiun, dan kota-kota lainnya. Dr. R. Soeharto juga mengutarakan waktu itu jalan antara Walikukun hingga ke selatan sampai Sanggrahan, Kedung Gudel masih diapit hutan belukar, Dukuh Sanggrahan sendiri dikitari rimba. Adapun jamuan makan yang dihidangkan pada acara angon putu terdapat pula daging dan telor angsa, banyak angsa yang berkeliaran di halaman rumah, yang disengaja untuk mengusir ular. Pertemuan dengan Eyang putri R. Ayu Sosroatmodjo waktu itu merupakan pertemuan yang pertama dan terakhir, sedangkan dengan Eyang kakung R. Soedarmo Sosroatmodjo belum pernah bertemu
Sesuai tulisan beliau dalam buku autobiografi, pada mulanya saat baru pertama kali di Dukuh Pesanggrahan,
Dr. R. Soeharto tidak berani menjelajahi pekarangan rumah, karena banyak
terdapat ular, namun ular sebanyak itu dapat diusir Ibunya dengan cara melepas
Angsa-angsa dan Kambing-kambing di pekarangan. Ternyata cara yang sama tersebut
selanjutnya didengar beliau saat menyertai kunjungan Presiden Soekarno ke Pulau
Seram di tahun 1960. Beliau tidak mengerti kenapa ular takut dengan kambing,
apakah ular tidak tahan dengan bau kambing dan kotorannya, suatu ketika beliau
kaget saat hendak masuk ke Lumbung Padi, karena ada ular yang sedang merayap.
“Jangan dibunuh” kata Ibunda beliau, “Ular itu pemakan tikus”.
Waktu itu sekira tahun 1917 Dr .R. Soeharto baru akan duduk di kelas 3
ELS II, beliau sebelumnya di Solo juga bersekolah di ELS II sedangkan ELS I
diperuntukkan bagi anak-anak Belanda totok dan keluarga Raja. Di Madiun beliau
dan saudara-saudaranya dipondokkan pada sebuah keluarga di Madiun, karena
sekolahpun harus pindah ke Madiun, beliau melanjutkan Sekolah di ELS II Madiun (Europeesche Lagere School, bahasa Indonesia: Sekolah Dasar Eropa) yang terletak di School
Laan (Jalan Sekolah), sekolah
tersebut dikhususkan untuk anak-anak Eropa dan Indo Eropa namun ada juga
anak-anak dari kalangan Priayi atau bangsawan yang bersekolah disitu, sedangkan
ELS Madiun sekarang ini menjadi SMP Negeri 13 Madiun yang terletak di JL.
Sumatra kota Madiun.
Bekas tempat tinggal R. Soedarmo Sosroatmodjo yang berada di Dukuh
Sanggrahan Desa Kedunggudel, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, kondisi saat
ini sangat memprihatinkan bangunan rumah sudah rusak berat hingga terdapat
rerumputan dan semak belukar didalamnya, bekas Lumbung Padi saat ini masih ada
namun sepertinya sudah berpindah tangan jadi milik warga lain yang saat ini
dihuni oleh keturunan para abdi dalem R. Soedarmo Sosroatmodjo, dan saya sendiri
masih belum tau masih difungsikan apa tidak, tepat diselatan Lumbung Padi
terdapat Langgar atau Mushola, dan disebelahnya ditanami pohon Kenitu (Sawo
Ijo) diselatan lagi atau seberang jalan terdapat pohon Asem Jawa.
Di halaman Rumah R. Soedarmo Sosroatmodjo beruntung masih bisa dijumpai
sebuah Tugu Prasasti, saya menyebutnya “Tugu Prasasti Dukuh Sanggrahan” yang
fotonya sempat viral di Grup FaceBook “Bangunan Kolonial kota2 Indonesia”,
berkat foto tersebut selekasnya saya membuat tulisan ini di blog Sosroredjan,
agar kita jauh lebih paham bagaimana mengenai Dukuh Sanggrahan tempat tinggal mertuanya
R. Sastrosoeyoso (Cucu Eyang Kyai R. Sosroredjo) atau tempat masa muda Dr. R. Soeharto
saat beliau bersekolah di Madiun sekira tahun 1917 – 1922. Dan alhamdulillah di
Grup FaceBook saya berkenalan dengan seseorang yang berinisial Mas Prast Cipto
dia masih keturunan R. Soedarmo Sosroatmodjo, berkat dia saya mendapat tambahan
informasi keterangan dan foto-foto kondisi terkini Dukuh Sanggrahan dan
Pesarean bukit Jabal Kadas. Sesuai keterangannya bahwa di "Margesari" penyebutan sekarang ini untuk Ndalem Sosroatmadjan (Rumah kediaman R.
Soedarmo Sosroatmodjo) dan juga menurut penuturan warga yang masih keturunan abdi
dalem Sosroatmadjan, dahulunya disitu terdapat pendopo besar namun sudah
terbakar, konon hal itu disebabkan karena sebuah pusaka berupa Keris Pulang Geni
yang tersimpan di Ndalem Sosroatmadjan tidak terawat.
Tugu Prasasti tersebut kemungkinan dibuat sebagai tetenger atau penanda cikal bakal Dukuh Sanggrahan dibuat tanggal 13 Juli 1941 yang dalam tulisannya menerangkan bahwa ditempat tersebut telah berdiri Dukuh Sanggrahan yang didirikan oleh cikal bakalnya yaitu R. Soedarmo Sosroatmodjo Wedono Distrik (Kawedanan) Sine, beliau menjabat Wedono atas ijin dari Residen Madiun sesuai SK tertanggal 4 April 1875 hingga 4 April 1879, seharusnya setelah itu di tahun 1879 juga menjabat sebagai Wedono Ngrambe apabila sesuai dengan keterangan di dalam buku autobiografi tulisan Dr. R. Soeharto.
R. Soedarmo Sosroatmodjo dan istri yaitu R. Ayu Sosroatmodjo setelah
wafatnya beliau dimakamkan di Pesarean bukit Jabal Kadas, Margorancang,
Ngrambe. Pesarean Jabal Kadas berada di atas bukit di kaki Gunung Lawu, untuk
bisa sampai di tempat makam musti naik menanjak melewati seratus lebih anak
tangga, disitu juga terdapat makam saudari Dr. R. Soeharto yaitu R. Ayu Siti
Kistirin dan juga yang lainnya. Di Pesarean Jabal Kadas ini masyarakat sekitar
lebih mengenal makam Patih Ronggo Lelono, sesuai cerita masyarakat sekitar
beliau adalah seorang Patih dari Bupati Ngawi yang sampai detik selalu
dikunjungi oleh pihak Pemkab Ngawi dan ASN saat peringatan hari jadi Kabupaten
Ngawi, sayangnya tidak ada bukti data lama yang menguatkan kebenaran mengenai
sosok tersebut.
Dahulu kala dibawah makam Jabal Kadas terdapat candi dengan tumpukan
batu balok, beberapa batu balok ada yang digunakan sebagai makam, banyak
terdapat juga pahatan batu di kaki bukit, kini batu-batu itu banyak yang lenyap
entah diamankan di Museum atau terjual ke pedagang barang antik, hal itu
kemungkinan berkaitan dengan cerita rakyat Ngrambe tentang pembuatan Kedung
Urung-urung-yang kemudian dibuatkan saluran air irigasi dari Kali Sawur-dan
sumber air panas di Bantengan, mereka menyebut adanya Kerajaan Hindu di daerah
itu, Dr. R. Soeharto menceritakan demikian.
SILSILAH
Dalam Silsilah yang saya dapati dari jalur Ibunda Dr. R. Soeharto, pada
jalur R. Soedarmo Sosroatmodjo sang Wedono Sine dan Ngrambe ini terhitung masih
memiliki Kakek buyut seorang Bupati Kertosono yang bernama R. Tumenggung
Wiryonegoro hingga drajat leluhur beliau berpangkal pada sosok Raja Klungkung
Bali, Dewa Agung Walikrama. Dan pada jalur-jalur lainnya terdapat nama-nama
seperti Kanjeng Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun lalu Bupati Caruban,
R.Tumenggung Notosari Bupati Caruban, selanjutnya pada cabang lain R. Ngabei
Tirtoprodjo Patih Lama Madiun hingga berpangkal pada Kanjeng Panembahan
Senopati Mataram.
Selanjutnya pada jalur Silsilah Ramanda Dr. R. Soeharto yaitu R.
Sastrosuyoso memiliki dua pangkal yakni jalur yang berpangkal pada Kanjeng
Adipati Purwodinigrat Bupati Kertosono lalu Bupati Magetan yang drajatnya
sampai Kanjeng Pangeran Cakraningrat Madura, dan satunya lagi berpangkal pada
jalur Kyai R. Sosroredjo ing Dolopo yang diurut hingga mencapai R. Tumenggung
Kudonowarso Patih KGPAA Mangkunegara I yang berpangkal hingga Sultan Agung
Mataram, dan Nyai R. Ayu Sosroredjo ing Dolopo keturunan Kyai Ageng Basyariah
Kepala Desa Perdikan Sewulan dan juga jalur lain hingga R. Ronggo Mangundirdjo
alias R. Ronggo Prawirodirdjo II Bupati Madiun menantu Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono I Kesultanan Yogyakarta.
Sekiranya demikian cerita mengenai Dukuh Sanggrahan, saya pribadi mohon maaf
sebesar-besarnya kepada pihak keluarga Trah Sosroatmadjan wabil khusus keluarga
besar Dr. R. Soeharto apabila artikel yang saya sampaikan di blog Sosroredjan
ini semua sumber mengambil dari buku autobiografi Dr. R. Soeharto, bukan
bermaksud untuk menjiplak, namun itikad saya hanya ingin mengajak keluarga agar
tidak lupa, bahwa usaha-usaha para leluhur dahulu kala jangan hanya dijadikan
cerita yang berlalu saja, dan yang pernah saya baca pada Warta Sosroredjan yaitu tabloid khusus bagi Trah Sosroredjan, di dalamnya melampirkan beberapa artikel tulisan yang
diambil dari autobiografi Dr. R. Soeharto juga, Terimakasih.
Sumber : Sebagian besar dari buku Saksi Sejarah (Autobiografi Dr. R. Soeharto)
- Foto Tugu Prasasti, dari Galih Setiawan (postingan di Grup Facebook, Bangunan Kolonial kota2 Indonesia)
- Foto Pesarean, dari Prast Cipto keturunan Trah Sosroatmadjan