Rabu, 01 November 2023

DUKUH SANGGRAHAN TEMPAT ASAL IBUNDA PAHLAWAN NASIONAL H. Dr. R. SOEHARTO SASTROSOEYOSO

Ibundanya memiliki bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit, ternyata pekerjaan mulia tersebut menurun kepada putranya H. Dr. R. Soeharto sang pendiri IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan seorang dokter pribadi Presiden Soekarno, beliau turut serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, sudah sepantasnya beliau dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.





Dr. R. Soeharto adalah putra R. Sastrosuyoso adalah seorang Mantri lalu menjadi Petani dan seorang Seniman, pandai menabuh gambang, tekun membaca sastra Jawa, gemar menonton wayang kulit semalam suntuk, masa muda hingga tuanya suka berpuasa dan berkelana, beliau wafat tanggal 12 Desember 1930, dan dimakamkan di Purwoloyo, Solo. Beliau di masa akhir hidupnya tekun berprihatin, makan, minum, dan tidur hanya sekedarnya saja, hal yang kadang menjadi salah paham bagi istrinya (Ibunda Dr. R. Soeharto) hingga sang istri merasa harus berjuang menghidupi anak-anak seorang diri, namun akhirnya sang istri sadar, bahwa beliau telah mengikuti jejak Eyangnya yaitu Kyai Sosroredjo di Dolopo, Kyai Sosroredjo sejak masa mudanya suka menjauhkan diri dari keduniawian, sudah barang tentu jika dilihat dengan kacamata jaman sekarang, sikap hidup demikian seakan-akan menelantarkan keluarga.  R. Sastrosuyoso ini adalah putra dari R. Prawiro Soeparto seorang Asisten Wedono Dolopo beliau putra sulung Eyang Kyai Sosroredjo yang makamnya di Dolopo, dalam catatan silsilah keluarga, R. Sastrosuyoso berputra putri 7 orang salah satunya adalah Dr. R. Soeharto (Dokter pribadi Bung Karno-Presiden RI pertama). 

R. Sastrosuyoso, Ramanda H. Dr. R. Soeharto


Sedangkan Ibunda Dr. R. Soeharto  yaitu R. Ayu Harminah Sastrosuyoso adalah putri bungsu  R. Soedarmo Sosroatmodjo seorang Wedono di District (Kawedanan) Sine pada tahun 1875 - 1879 dan sebagai Wedono Ngrambe pada tahun 1879, Ibunya mewarisi rumah, sawah, dan beberapa tegalan di Dukuh Sanggrahan yang letaknya di Desa Kedunggudel. Pada tahun 1879 saat mengikuti kehendak Ibunya, beliau pindah dari Tegalgondo tempat masa kecilnya untuk menuju ke Dukuh Sanggrahan dan menempati rumah warisan di Desa Kedunggudel itu, yang telah beberapa lama kosong. Di rumah itulah R. Ayu Harminah Sastrosuyoso dilahirkan dan dibesarkan, beliau pandai dalam mengelola sawah dan cara pengobatan tradisional, terutama penggunaan ramuan jamu guna pemeliharaan dan pemulihan kesehatan keluarga, semasa di Tegalgondo beliau memiliki lahan tanaman herbal dibelakang rumah yang dapat dipergunakan untuk keperluan bumbu dapur dan pengobatan, bahan-bahan yang sudah dikeringkan disimpan didalam botekan sebuah alamari dengan laci sebanyak 48 buah, beliau  waktu itu disebut sebagai “dokter keluarga” yang sering memberikan pelayanan pelayanan kesehatan kepada siapa saja, kiranya bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit menurun kepada Dr. R. Soeharto.

R. Ayu Harminah Sastrosuyoso, Ibunda Dr. R. Soeharto


DUKUH SANGGRAHAN

Dukuh Sanggrahan terletak 60 km sebelah barat laut Madiun, waktu itu stasiun terdekat ada di Walikukun, yang berjarak kira-kira 4,5 km. Desa Kedunggudel terletak dikaki Gunung Lawu, gunung yang menjulang diperbatasan prov. Jawa Timur dan prov. Jawa Tengah, diwaktu itu di lereng Gunung Lawu terdapat banyak perkebunan tehhdan di sekitar desa banyak terdapat budidaya perkebunan kapuk randu, kopi, dan karet. Halaman rumah di Dukuh Sanggrahan Desa Kedunggudel sangat luas banyak ditanami berbagai pohon diantaranya kemiri, kluwih, kopi robusta, tanjung, kantil, dan sawo kecik, serta bunga-bungaan seperti kenanga, mawar, dan melati. Hasil di pekarangan tersebut selain dipergunakan untuk bahan makanan dan minuman, juga untuk bahan obat dan kosmetika.

Mengenai pembukaan tempat pemukiman Dukuh Sanggrahan dan sekitarnya hampir sama dengan cerita saat Eyang Kyai R. Sosroredjo membuka dan membabat untuk tempat pemukiman di Dolopo, waktu itu Eyang R. Soedarmo Sosroatmodjo yang menjabat Wedana Ngrambe di tahun 1879 diijinkan oleh Residen Madiun selaku Pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membedah hutan di sana seluas beberapa puluh hektar. Dr. R. Soeharto masih ingat dimasa kecil sebelum usia lima tahun sempat bertemu muka Eyang Putrinya yaitu R. Ayu Sosroatmodjo yang waktu itu sudah menjanda, yang mana saat diselenggarakan acara “angon putu”, hal yang membahagiakan bagi Eyang putri R. Ayu Sosroatmodjo dikunjungi oleh segenap anak cucu, baik dari Solo, Madiun, dan kota-kota lainnya. Dr. R. Soeharto juga mengutarakan waktu itu jalan antara Walikukun hingga ke selatan sampai Sanggrahan, Kedung Gudel masih diapit hutan belukar, Dukuh Sanggrahan sendiri dikitari rimba. Adapun jamuan makan yang dihidangkan pada acara angon putu terdapat pula daging dan telor angsa, banyak angsa yang berkeliaran di halaman rumah, yang disengaja untuk mengusir ular. Pertemuan dengan Eyang putri R. Ayu Sosroatmodjo waktu itu merupakan pertemuan yang pertama dan terakhir, sedangkan dengan Eyang kakung R. Soedarmo Sosroatmodjo belum pernah bertemu

Sesuai tulisan beliau dalam buku autobiografi, pada mulanya  saat baru pertama kali di Dukuh Pesanggrahan, Dr. R. Soeharto tidak berani menjelajahi pekarangan rumah, karena banyak terdapat ular, namun ular sebanyak itu dapat diusir Ibunya dengan cara melepas Angsa-angsa dan Kambing-kambing di pekarangan. Ternyata cara yang sama tersebut selanjutnya didengar beliau saat menyertai kunjungan Presiden Soekarno ke Pulau Seram di tahun 1960. Beliau tidak mengerti kenapa ular takut dengan kambing, apakah ular tidak tahan dengan bau kambing dan kotorannya, suatu ketika beliau kaget saat hendak masuk ke Lumbung Padi, karena ada ular yang sedang merayap. “Jangan dibunuh” kata Ibunda beliau, “Ular itu pemakan tikus”.

Waktu itu sekira tahun 1917 Dr .R. Soeharto baru akan duduk di kelas 3 ELS II, beliau sebelumnya di Solo juga bersekolah di ELS II sedangkan ELS I diperuntukkan bagi anak-anak Belanda totok dan keluarga Raja. Di Madiun beliau dan saudara-saudaranya dipondokkan pada sebuah keluarga di Madiun, karena sekolahpun harus pindah ke Madiun, beliau melanjutkan Sekolah di ELS II Madiun (Europeesche Lagere School, bahasa Indonesia: Sekolah Dasar Eropa) yang terletak di School Laan (Jalan Sekolah), sekolah tersebut dikhususkan untuk anak-anak Eropa dan Indo Eropa namun ada juga anak-anak dari kalangan Priayi atau bangsawan yang bersekolah disitu, sedangkan ELS Madiun sekarang ini menjadi SMP Negeri 13 Madiun yang terletak di JL. Sumatra kota Madiun.

Bekas tempat tinggal R. Soedarmo Sosroatmodjo yang berada di Dukuh Sanggrahan Desa Kedunggudel, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, kondisi saat ini sangat memprihatinkan bangunan rumah sudah rusak berat hingga terdapat rerumputan dan semak belukar didalamnya, bekas Lumbung Padi saat ini masih ada namun sepertinya sudah berpindah tangan jadi milik warga lain yang saat ini dihuni oleh keturunan para abdi dalem R. Soedarmo Sosroatmodjo, dan saya sendiri masih belum tau masih difungsikan apa tidak, tepat diselatan Lumbung Padi terdapat Langgar atau Mushola, dan disebelahnya ditanami pohon Kenitu (Sawo Ijo) diselatan lagi atau seberang jalan terdapat pohon Asem Jawa.

Di halaman Rumah R. Soedarmo Sosroatmodjo beruntung masih bisa dijumpai sebuah Tugu Prasasti, saya menyebutnya “Tugu Prasasti Dukuh Sanggrahan” yang fotonya sempat viral di Grup FaceBook “Bangunan Kolonial kota2 Indonesia”, berkat foto tersebut selekasnya saya membuat tulisan ini di blog Sosroredjan, agar kita jauh lebih paham bagaimana mengenai Dukuh Sanggrahan tempat tinggal mertuanya R. Sastrosoeyoso (Cucu Eyang Kyai R. Sosroredjo) atau tempat masa muda Dr. R. Soeharto saat beliau bersekolah di Madiun sekira tahun 1917 – 1922. Dan alhamdulillah di Grup FaceBook saya berkenalan dengan seseorang yang berinisial Mas Prast Cipto dia masih keturunan R. Soedarmo Sosroatmodjo, berkat dia saya mendapat tambahan informasi keterangan dan foto-foto kondisi terkini Dukuh Sanggrahan dan Pesarean bukit Jabal Kadas. Sesuai keterangannya bahwa di "Margesari" penyebutan sekarang ini untuk Ndalem Sosroatmadjan (Rumah kediaman R. Soedarmo Sosroatmodjo) dan juga menurut penuturan warga yang masih keturunan abdi dalem Sosroatmadjan, dahulunya disitu terdapat pendopo besar namun sudah terbakar, konon hal itu disebabkan karena sebuah pusaka berupa Keris Pulang Geni yang tersimpan di Ndalem Sosroatmadjan tidak terawat.

Tugu Prasasti Cikal Bakal Dukuh Sanggrahan  


Tugu Prasasti tersebut kemungkinan dibuat sebagai tetenger atau penanda cikal bakal Dukuh Sanggrahan dibuat tanggal 13 Juli 1941 yang dalam tulisannya menerangkan bahwa ditempat tersebut telah berdiri Dukuh Sanggrahan yang didirikan oleh cikal bakalnya yaitu R. Soedarmo Sosroatmodjo Wedono Distrik (Kawedanan) Sine, beliau menjabat Wedono atas ijin dari Residen Madiun sesuai SK tertanggal 4 April 1875 hingga 4 April 1879, seharusnya setelah itu di tahun 1879 juga menjabat sebagai Wedono Ngrambe apabila sesuai dengan keterangan di dalam buku autobiografi tulisan Dr. R. Soeharto.

R. Soedarmo Sosroatmodjo dan istri yaitu R. Ayu Sosroatmodjo setelah wafatnya beliau dimakamkan di Pesarean bukit Jabal Kadas, Margorancang, Ngrambe. Pesarean Jabal Kadas berada di atas bukit di kaki Gunung Lawu, untuk bisa sampai di tempat makam musti naik menanjak melewati seratus lebih anak tangga, disitu juga terdapat makam saudari Dr. R. Soeharto yaitu R. Ayu Siti Kistirin dan juga yang lainnya. Di Pesarean Jabal Kadas ini masyarakat sekitar lebih mengenal makam Patih Ronggo Lelono, sesuai cerita masyarakat sekitar beliau adalah seorang Patih dari Bupati Ngawi yang sampai detik selalu dikunjungi oleh pihak Pemkab Ngawi dan ASN saat peringatan hari jadi Kabupaten Ngawi, sayangnya tidak ada bukti data lama yang menguatkan kebenaran mengenai sosok tersebut.

Pesarean R. Soedarmo Sosroatmodjo dan R. Ayu Sosroatmodjo, di Jabal Kadas, 
di atas bukit, kaki Gunung Lawu 


Dahulu kala dibawah makam Jabal Kadas terdapat candi dengan tumpukan batu balok, beberapa batu balok ada yang digunakan sebagai makam, banyak terdapat juga pahatan batu di kaki bukit, kini batu-batu itu banyak yang lenyap entah diamankan di Museum atau terjual ke pedagang barang antik, hal itu kemungkinan berkaitan dengan cerita rakyat Ngrambe tentang pembuatan Kedung Urung-urung-yang kemudian dibuatkan saluran air irigasi dari Kali Sawur-dan sumber air panas di Bantengan, mereka menyebut adanya Kerajaan Hindu di daerah itu, Dr. R. Soeharto menceritakan demikian.

 

SILSILAH

Dalam Silsilah yang saya dapati dari jalur Ibunda Dr. R. Soeharto, pada jalur R. Soedarmo Sosroatmodjo sang Wedono Sine dan Ngrambe ini terhitung masih memiliki Kakek buyut seorang Bupati Kertosono yang bernama R. Tumenggung Wiryonegoro hingga drajat leluhur beliau berpangkal pada sosok Raja Klungkung Bali, Dewa Agung Walikrama. Dan pada jalur-jalur lainnya terdapat nama-nama seperti Kanjeng Pangeran Mangkudipuro Bupati Madiun lalu Bupati Caruban, R.Tumenggung Notosari Bupati Caruban, selanjutnya pada cabang lain R. Ngabei Tirtoprodjo Patih Lama Madiun hingga berpangkal pada Kanjeng Panembahan Senopati Mataram.

Selanjutnya pada jalur Silsilah Ramanda Dr. R. Soeharto yaitu R. Sastrosuyoso memiliki dua pangkal yakni jalur yang berpangkal pada Kanjeng Adipati Purwodinigrat Bupati Kertosono lalu Bupati Magetan yang drajatnya sampai Kanjeng Pangeran Cakraningrat Madura, dan satunya lagi berpangkal pada jalur Kyai R. Sosroredjo ing Dolopo yang diurut hingga mencapai R. Tumenggung Kudonowarso Patih KGPAA Mangkunegara I yang berpangkal hingga Sultan Agung Mataram, dan Nyai R. Ayu Sosroredjo ing Dolopo keturunan Kyai Ageng Basyariah Kepala Desa Perdikan Sewulan dan juga jalur lain hingga R. Ronggo Mangundirdjo alias R. Ronggo Prawirodirdjo II Bupati Madiun menantu Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I Kesultanan Yogyakarta.

Sekiranya demikian cerita mengenai Dukuh Sanggrahan, saya pribadi mohon maaf sebesar-besarnya kepada pihak keluarga Trah Sosroatmadjan wabil khusus keluarga besar Dr. R. Soeharto apabila artikel yang saya sampaikan di blog Sosroredjan ini semua sumber mengambil dari buku autobiografi Dr. R. Soeharto, bukan bermaksud untuk menjiplak, namun itikad saya hanya ingin mengajak keluarga agar tidak lupa, bahwa usaha-usaha para leluhur dahulu kala jangan hanya dijadikan cerita yang berlalu saja, dan yang pernah saya baca pada Warta Sosroredjan yaitu tabloid khusus bagi Trah Sosroredjan, di dalamnya  melampirkan beberapa artikel tulisan yang diambil dari autobiografi Dr. R. Soeharto juga, Terimakasih.


Sumber : Sebagian besar dari buku Saksi Sejarah (Autobiografi Dr. R. Soeharto)

Foto: 

- Foto masa muda Dr. R. Soeharto, diambil dari Facebook Perpustakaan Nasional

- Foto Ramanda dan Ibunda Dr. R. Soeharto, diambil dari buku Saksi Sejarah

- Foto Tugu Prasasti, dari Galih Setiawan (postingan di Grup Facebook, Bangunan Kolonial kota2 Indonesia)

- Foto Pesarean, dari Prast Cipto keturunan Trah Sosroatmadjan


 

Senin, 25 September 2023

PENYELAMATAN SANG SAKA MERAH PUTIH

 


Dikisahkan oleh Dr.R.Soeharto keturunan R. Kyai Sosroredjo ing Dolopo, mengenai perannya dalam penyelamatan Sang Saka Merah Putih.

Pada awalnya keberadaan Sang Saka Merah Putih dibuat oleh Zus Fat panggilan Dr.R.Soeharto kepada Ibu Fatmawati, Fatmawati yang menjahit dua kain menjadi dwi warna: Merah Putih. Subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata.

Fatmawati yang menyambutnya dengan cemas, melihat betapa Bung Karno teramat pucat. Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat. Seperti dituturkan kepada Cindy Adams, Sukarno mengisahkan bahwa Fatmawati cukup mengerti gejolak hati Sukarno, sehingga membiarkannya tetap bekerja. Tubuhnya menggigil diserang malaria, tetapi jiwanya jauh lebih bergejolak menyongsong Indonesia merdeka sebentar lagi.

Jelang kemerdekaan kira-kira pukul 08.00 dikamar Bung Karno JL. Pegangsaan Timur 56. "Pating greges," begitu kata Bung Karno setelah membuka mata. Gejala malaria tertiana timbul setelah kunjungannya ke Makasar, segera Dr.R.Soeharto memeriksa Bung Karno, meskipun Dr.R.Soeharto tidak menemukan gejala-gejala lain, tetapi atas persetujuan Dr.R.Soeharto memberikan suntikan chinine-urethan intramusculair, selanjutnya mempersilahkan minum broom chinine.

Dr.R.Soeharto menerangkan keadaan Bung Karno kepada Fatmawati dan mengemukakan saran agar Bung Karno dibiarkan tidur sampai panasnya mereda. Selang sejam lebih Dr.R.Soeharto kembali kedalam kamar Bung Karno dan terus menungguinya. Kira-kira pukul 09.30 beliau bangun, dan badannya sudah tidak panas lagi. "Sudah jam setengah sepuluh, Mas" kata Dr.R.Soeharto, Bung Karno segera turun dari tempat tidur sambil berkata "Minta Hatta segera datang"

Fatmawati sendiri bukannya bugar. sebelumnya Ia mengikuti benar hari-hari, jam-jam menjelang proklamasi di Rengasdengklok. Dan itu sungguh melelahkan. Termasuk, ia harus menyiapkan bendera merah putih untuk keperluan upacara kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bendera jahitan tangan Fatmawati itu pulalah yang dikibarkan pada momentum proklamasi.

Bendera itu pula yang kemudian menjadi pusaka negara: Sang Saka Merah Putih. Nilainya begitu sakral. Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah proklamasi, berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya. Tonggak kemerdekaan sudah ditancapkan, sang merah putih sudah berkibar, nyawa-nyawa jiwa merdeka siap menjaganya agar tetap berkibar dan terus di angkasa Indonesia.

Satu hari, dua hari, satu pekan, dua pekan… Sang Merah Putih tetap berkibar. Sementara itu, pasukan Sekutu dikabarkan mulai mendarat di sejumlah pantai dan kota-kota Indonesia. Detik-detik perang mempertahankan kemerdekaan, sudah di depan mata. Sukarno sudah menghitung situasi itu. Surat-surat yang ditulisnya di subuh 17 Agustus 1945, antara lain berisi instruksi kepada para pemimpin pergerakan.

Kepada yang satu, diperintahkan untuk menghimpun kekuatan untuk kepentingan pertahanan. Kepada yang lain, Sukarno memerintahkan agar mengambil alih pemerintahan mulai dari tingkatan desa. Dan surat lain berbunyi, “Besok Saudara akan mendengar melalui radio, bahwa kita sekarang telah menjadi rakyat yang merdeka. Begitu Saudara mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah di setiap kota dalam daerah Saudara.”

Waktu melintas tahun, ketika Sekutu benar-benar mendarat dan ingin melucuti senjata-senjata dari para pejuang Indonesia yang telah merdeka. Mereka menangkap, menahan, bahkan membunuh para pejuang kita. Sukarno dan keluarga yang tak lagi aman di Jakarta, hijrah ke Yogyakarta. Dengan demikian pindah pula pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Lantas bagaimana nasib bendera pusaka yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945?

Sejarah selalu mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah. Sang bendera pusaka, adalah sejarah yang mutlak harus dicatat. Dalam situasi negara chaos, menghadapi pertempuran melawan Sekutu di satu sisi, serta menghadapi perundingan di sisi yang lain, ternyata ada sekuel yang menarik tekait bendera pusaka kita.

Adalah intelijen Sekutu yang tercium tengah mengendus-endus keberadaan bendera pusaka. Barangkali, upaya mereka menenggelamkan bahtera Indonesia merdeka, tidak afdol kalau tidak bersamaan dengan penguburan sang pataka. Karenanya, pencarian bendera merah putih –untuk dimusnahkan– berlangsung di antara peperangan dan perundingan.

Sang dwi warna, rupanya sudah diamankan oleh para pejuang kemerdekaan. Ia disimpan, disembunyikan, dilindungi dengan nyawa. Tidak hanya itu, sistem penyimpanan pun dibuat mobile, bergerak terus dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain. “Pemunculan” sang merah putih berhasil direkam oleh Dr. R.Soeharto, dokter pribadi Bung Karno pada April 1949.

Dr.R.Soeharto sendiri tidak tahu, di mana sang merah putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949 ia kedatangan tamu misterius bernama Mutahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat duta besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan, telah dilepas jahitannya, dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda maha penting bagi tonggak berdirinya republik.

Mutahar, malam itu, menitipkan sang dwi warna kepada Dr.R.Soeharto. Mendapat amanat penting, Dr.R.Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat, dan kain putih jauh di tempat lain. Maksudnya, menjaga kemungkinan penggeledahan NICA.

Tercatat, tidak lama sang merah putih disimpan di rumah Dr.R.Soeharto di Jl. Kramat 128, Jakarta Pusat. Beberapa malam berikutnya, Muthahar kembali datang untuk mengambil dua potong kain pusaka tadi, dan memindahkannya ke tempat berbeda. Entah berapa kali, puluh kali, ratus kali Muthahar menyelinap, mengendap, memindahkan tempat persembunyian bendera proklamasi. Satu tekad dikandung badan, benda pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan Belanda, dan akan tetap menjadi pusaka kita selama-lamanya.

Tuhan Maha Besar. Sang merah putih, meski tak lagi semerah darah dan seputih melati, tetapi dia tetap utuh hingga hari ini. Merahnya yang memudar digerogoti waktu, tetap menyiratkan tekad berani semerah darah. Meski putihnya menguning diretas waktu, tetapi putihnya tetap menyiratkan tekad suci seputih melati. Dan dia, adalah perlambang Ibu Pertiwi, yang akan kita bela sampai mati.

Siapa Mutahar ? 

Mutahar

Mutahar nama lengkapnya adalah Husein Mutahar biasa disingkat H. Mutahar adalah seorang yang aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI.

Namun  di negara kita H.Mutahar lebih terkenal sebagai seorang komponis musik Indonesia,  terutama  untuk  kategori  lagu  nasional  dan  kepanduan.  Lagu ciptaannya yang popular adalah hymne Syukur (diperkenalkan Januari 1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Lagu kepanduan ciptaannya, antara lain "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka"

H. Mutahar juga sebagai salah seorang ajudan Presiden, Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.

Pada tahun 1967, H. Mutahar sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Mutahar diminta Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu; kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera; kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Refrensi : Disarikan dari berbagai sumber seperti wikipedia, Facebook, dan terutama dalam buku autobiografi Dr.R.Soeharto yang berjudul "Saksi Sejarah"

Minggu, 14 Agustus 2022

Dr. dr. H. R. Soeharto Sastrosoeyoso (Dokter Pribadi Sang Proklamator Kemerdekaan RI)


Dr. dr. R.H. Soeharto Sastrosoeyoso (lahir di Tegalgondo, Klaten, Jawa Tengah, 24 Desember 1908 - meninggal di Jakarta, 30 November 2000 pada umur 91 tahun) adalah mantan menteri yang menjabat selama Demokrasi Terpimpin sejak 1959-1966, beliau adalah putra dari R. Sastro Soejoso, atau cucu dari R. Prawiro Soeparto, atau Cicit dari R Kyai Sosroredjo (Palang Dolopo & Mantri Bupati Madiun) bin R. Kyai Ageng Gajah Surengpati (Wedono Prajurit ing Madiun) bin R. Tirtosentiko I (Mantri Emban Kraton Jogyakarta) bin R. Tumenggung Kudonowarso (Patih & Penasihat Pangeran Sambernyowo / KGPAA Mangkunegoro I).


Pendidikan

· Europese Lagere School (ELS) Solo dan Madiun.

· Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Madiun, lulus 16 Mei 1925.

· Algemeene Middelbare School (AMS) B di Yogyakarta, lulus 16 Mei 1928.

· Fakultas Medica Bataviensis, Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta (STK); gelar Arts (dokter), tanggal 25 Mei 1935.

· Asisten STK sampai tanggal 1 Januari 1937; sore dan malamnya magang di polilinik umum dan klinik bersalin "Pasar Senen" di bawah pimpinan Dr. Tumbelaka, Insp. DVG dan para dokter senior yang menjalankan praktik kedokteran keluarga seperti dr. Latip, dr. Kayadu, dr. Tehupeiory dan dr. Sugiri.

· Meraih gelar ilmiah Medicinae Doctorem (Doctor) dari Fakultas Medica Bataviensis; gelar itu untuk pertama kalinya diberikan kepada alumnusnya (14 April 1937).


Pekerjaan

Sebelum Kemerdekaan s.d. Masa Demokrasi Liberal

· 1937-1942: menjalankan praktik kedokteran keluarga (huisarts), serta mendirikan dan mengelola klinik bersalin kecil di Kramat 128 pavilyun.

·  1942-1945: tetap menjalankan praktik; menjadi dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta.

· Oleh Bung Karno diberi tugas memimpin bagian Kesehatan Poesat Tenaga Rakyat (POETERA), di bawah pimpinan Empat Serangkai, yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mansyur.

·  Oleh Bung Hatta, selaku Kepala Kantor Penasehat Gunseikanbu, ditugaskan memberikan pelayanan kesehatan kepada para calon pegawai dan pegawai Pangreh Praja se-Jawa yang sedang dilatih di Jakarta, serta memberikan pelayanan kesehatan kepada para abang beca, yang pada waktu itu di Jakarta berjumlah 6.000-7.000 orang.

· Dalam pengurus Fonds Kemerdekaan Indonesia (FKI) Pusat, yang dipimpin oleh Bung Hatta, didudukkan sebagai Bendahara kemudian Wakil Ketua.

· Sebagai dokter pribadi dan pembantu Dwi Tunggal mengikuti berbagai perjalanan, antaranya ke Bali untuk mengadakan pembicaraan dengan Laksamana Shibata di Singaraja; ke Dalat (Indo China) tatkala Bung Karno dan Bung Hatta dilantik oleh Marsekal Terauchi menjadi Ketua dan Wakil Ketua Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia; dan akhir Agustus 1945 dilantik sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.

· Sebagai anggota Pengurus FKI Pusat diangkat menjadi anggota Pusat Bank Indonesia (Maklumat Pemerintah, 9 Oktober 1945).

· 1946-1948 (hijrah ke Yogyakarta).

· Diangkat menjadi Kepala Administrasi Pusat (AMP) Kementerian Pertahanan RI di Yogyakarta, dengan pangkat Mayor Jenderal merangkap dokter pribadi Presiden (sebelumnya adalah dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta).

· Sejak pertengahan 1948 sampai akhir 1949 nonaktif karena lumpuh badan sebelah kiri dan dirawat oleh Prof. dr. Slamet Iman Santoso di RSCM.

· 1950: kembali bertugas sebagai dokter pribadi Presiden, sampai akhir 1966.

· 1950-1959

· Dengan SK Menteri Petahanan Ir. Djuanda diangkat menjadi anggota Staf Front Pembebasan Irian Barat, dengan pangkat Kolonel kehormatan (16 Agustus 1958).

· Pangkat ini kemudian dtingkatkan menjadi Brigjen TNI-AD, dengan SK Presiden No.137/M/1961, tanggal 14 Maret 1961, dan Mayjen Kehormatan TNI-AD, dengan SK Presiden No.144/AB-AD tahun 1964, tanggal 7 Agustus 1964, dan dilantik oleh Jenderal A. Yani pada tangga; 18 Agustus 1964.

· Sebagai dokter pribadi Presiden mengikuti beliau dalam kunjungan kenegaraan ke berbagai negara, dan dalam tahun 1955 menyertai beliau menunaikan ibadah haji.

· Sebagai dokter pribadi Presiden mengikuti ia dalam kunjungan kenegaraan ke berbagai negara, dan dalam tahun 1955 menyertai ia menunaikan ibadah haji.

 


Demokrasi Terpimpin

· Juli 1959 - Oktober 1966

·  Menteri Muda/Menteri/Menko dalam Kabinet Kerja dan Kabinet Dwikora resp.

·  Menteri Muda/Menteri Perindustrian Rakyat, 13 Juli 1959-5 Maret 1962.

·  Menteri Perdagangan, 6 Maret 1962-13 November 1963.

·  Menteri Urusan Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Urusan Penerbitan Bank dan Modal Swasta, 13 November 1963-1 Agustus 1964.

·  Menteri Koordinator Urusan Perencanaan Pembangunan Nasional, 27 Agustus 1964-25 Juli 1966, dengan catatan: antara 24 Februari-27 Maret 1966 ditugaskan sebagai Menko Keuangan.

· Pensiun sebagai Menteri dengan SK Presiden RI tanggal 3 Oktober 1966 No.56/Pens/Th.1966.

·  Mengikuti perjalanan Presiden ke seluruh pelosok tanah air dan ke berbagai negara di dunia, dan senantiasa diikutsertakan sebagai anggota delegasi yang langsung dipimpin oleh Presiden.

·  Dengan SK Presiden tanggal 23 Agustus 1967 No.127 Tahun 1967, diberhentikan dengan hormat sebagai anggota tim dokter-dokter pribadi Presiden.

·  Anggota MPRS, 1962-1967, dengan No. 209 C.

· Direktur Utama PT Department Store Sarinah, 1962-1967. Wakil bendahara Panitia Monumen Nasional dan Masjid Istiqlal. Ketua Panitia Penyusun naskah buku "20 Tahun Indonesia Merdeka" (ke-9 jilid buku ini sudah dapat diselesaikan).

· Memberi pengarahan pembuatan film "Indonesia Builds" (sudah selesai dibuat oleh Perusahaan Film Belanda Carillon Films).

 

Setelah Pensiun

Kembali menjalankan praktek dokter sampai tahun 1978 dan sejak pensiun dari kedokteran aktif dalam perkumpulan profesi dan organisasi sosial.

· Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia periode 1980-1982.

· Salah seorang pembina Kelompok Studi Dokter Keluarga.

· Anggota Lions Club, antara lain dipilih sebagai District Governor 307 Lions Club International periode 1978-1979.

· Penasihat OISCA (Organization of Industrial, Social, Cultural Advancement) chapter Indonesia, yang berpusat di Jepang.

 

Penghargaan

Penghargaan yang diterima dari berbagai instansi, di antaranya:

1.   Pengangkatan oleh Panglima Divisi Siliwangi, pangkat Kapten Kehormatan dan cincin Siliwangi.

2.   Pernyataan terima kasih dari Inspektur Keuangan Angkatan Darat dalam memelopori pembentukan dan pembinaan Djawatan KUAD sejak 1945.

3.   Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan I.

4.   Pengangkatan sebagai anggota Dewan Pleno Pusat Legiun Veteran RI pada tanggal 24 Januari 1967 (pada waktu itu belum mendaftarkan diri sebagai veteran).

5.   Surat penghargaan dari Direksi BNI 46, tanggal 5 Juli 1976.

6.   Surat pribadi dari Pak Dirman, tanggal 1 Desember 1949, yang sungguh-sungguh mengharukan hati.

7.   Berbagai bintang dari negara-negara lain, waktu menyertai Presiden dalam kunjungan kenegaraannya, di antaranya yang disenangi adalah bintang AQUILA AZTECA dari Presiden Mexico, dan diangkat menjadi warga kehormatan Aqapulco.

Dengan SK BAKN tanggal 25 Agustus 1982 No.115/BPN/KNIP/5/1982 diberi tunjangan kehormatan sebagai anggota KNIP.

 

Kegiatan dalam organisasi

Anggota Jong Java mulai murid MULO, AMS B, dan duduk dalam PB Jong Java yang terakhir. (1928).

·  Anggota Jong Islamieten Bond (1926-1928).

· Anggota Indonesia Muda (1929-1931).

· Anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1931-1936).

· Setelah menjadi dokter menggabungkan diri pada Parindra dan setelah 1945 anggota PNI.

· Waktu di Yogyakarta (1946-1948) duduk dalam Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dengan susunan pengurusnya;

  • Ketua: Mr. Budiarto, Wakil Ketua: dr. Sukiman, Sekretaris: dr. Buntaran, Bendahara: dr. Soeharto, dengan anggota-anggotanya, antara lain: BPH Bintoro, H. Farid Ma'ruf, Mr. Mangunjudo, KRT Notojudo, KHP Nototaruno, Prof. Rooseno, Mr. Sunaryo, Dr. Priyono dan lain-lain.
  • Ketua Dewan Kurator adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Ketuanya adalah Ki Hadjar Dewantara.

 

· 1950 memprakarsai berdirinya Ikatan Dokter Indonesia sebagai fusi dari Perkumpulan Thabib Indonesia (ketua Dr. Rasyid) dan Perkumpulan Dokter Indonesia (dbp. dr. Darmasetiawan), dalam IDI, semula duduk dalam PB sebagai sekretaris dan kemudian beberapa kali sebagai ketua umum.

·  Anggota Dewan Ekonomi Indonesia Pusat (DEIP).

· Akhir 1957 memprakarsai berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana menjadi Ketua Pengurus pertama sampai akhirnya masuk dalam kabinet.

· Selaku Ketua Umum PB IDI hadir pada First World Conference on Medical Education (London 1953), memasukkan IDI dalam World Medical Association, waktu menghadiri General Assembly di Den Haag tahun 1953, mengetuai tim dokter ke RRC, tahun 1956, dan berpartisipasi dalam pendirian CMAAO (Confederation of Medical Associations in Asia and Oceania) di Manila; CMAAO ini, tahun 1981 mengadakan kongresnya yang ke XII di Seoul, Korea Selatan.

· Anggota Lions Club Jakarta Kebayoran sejak tahun 1971 sehingga sekarang, dan pernah memimpin organisasi Lions Indonesia sebagai District Governor 307 Lions Club International tahun 1978-1979. Pelantikannya berlangsung di Tokyo, Juni 1978.

· Dalam Muktamar IDI ke-XVIII, 19-21 Desember 1982 dipilih sebagai Ketua Dewan Penyantun, masa bhakti 1982-1985 dan sejak awal tahun 1984 oleh DPP PDI diangkat menjadi anggota Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Demokrasi Indonesia.

 

Gelar Pahlawan Nasional dan Nama Jalan

Awal tahun 2022 Bupati Klaten Sri Mulyani menyatakan Pemkab Klaten mengusulkan nama R Soeharto untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah pusat. R Soeharto merupakan tokoh kelahiran Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Klaten.

"Beliau ini (R Soeharto) menjadi dokter pribadinya Presiden RI pertama, Ir Soekarno. Jasa beliau sangat luar biasa," ungkap Bupati Klaten, Sri Mulyani kepada detikJateng.

Dijelaskan Sri Mulyani selain menjadi dokter pribadi Bung Karno, R Soeharto juga memiliki banyak ide pembangunan yang dipakai Bung Karno. Bahkan juga pernah mengemban beberapa jabatan penting.

"Gagasan beliau, ide beliau didengar Ir Soekarno. Pernah menjabat beberapa menteri, kapasitas sangat mumpuni, serta layak dan tokoh ini kelahiran Klaten sehingga kita ingin ada tokoh Klaten yang jadi pahlawan Nasional," imbuh Sri Mulyani.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten resmi menetapkan ruas jalan Gebyok-Jimbung dengan nama Jalan Dr. R. Soeharto. Penamaan tersebut merupakan bentuk apresiasi dan penghormatan kepada Dr. R. Soeharto.

Bupati Klaten, Sri Mulyani hadir secara langsung untuk meresmikan Jalan Dr. R. Soeharto di Aula Kantor Desa Jimbung, Kalikotes, Jumat (27/5/2022). Penamaan Jalan Dr. R. Soeharto termaktub dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Klaten Nomor 662/157 Tahun 2022 dan memiliki panjang 2,71 kilometer dari simpang empat Gebyok sampai dengan simpang tiga Rawa Jombor.

Peresmian Jalan Dr. R. Soeharto ditandai dengan pembukaan selubung papan nama jalan oleh Bupati Klaten. Acara tersebut turut dihadiri pihak keluarga almarhum Dr. R. Soeharto dan sekaligus menerima SK penamaan ruas jalan tersebut.

Dr. R. Soeharto adalah putra asli Klaten kelahiran Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari dan dikenal sebagai dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta. Oleh Pemkab Klaten dan Pemprov Jawa Tengah, nama Dr. R. Soeharto diusulkan sebagai pahlawan nasional atas peran dan perjuangannya sejak berkiprah di Jong Islamieten Bond, menjadi pengurus besar Jong Java mengikuti Kongres Pemuda II (yang melahirkan Sumpah Pemuda). Perannya juga tercatat di Pusat Tenaga Rakyat dan peristiwa-peristiwa penting dan krusial sebelum dan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, serta perannya dalam pendirian berbagai institusi penting negara.

Bupati Klaten Sri Mulyani mengatakan selain apresiasi, penamaan jalan ini juga sebagai bentuk upaya Pemkab Klaten untuk mendukung pengusulan gelar pahlawan nasional. Sehingga Dr. R. Soeharto dikenal luas oleh masyarakat, khususnya warga Klaten.

“Salah satu persyaratan pengusulan pahlawan nasional adalah namanya telah diabadikan melalui sarana monumental di daerah asal sehingga dapat dikenal oleh masyarakat luas dan Almarhum Bapak DR R Soeharto ini putra asli Klaten yang lahir di Desa Tegalgondo, calon pahlawan nasional pertama dari Klaten,” ungkapnya.

Adapun pemilihan ruas jalan tersebut dengan nama Dr. R. Soeharto yakni karena ruas jalan tersebut merupakan sambungan dari Jalan Ir. Soekarno yang telah diresmikan Pemkab Klaten sebelumnya. Perwakilan pihak keluarga, Dewi Kamaratih Soeharto menyampaikan letak ruas jalan tersebut menggambarkan kedekatan ayahanda dengan pemimpin bangsa sekaligus sahabat seperjuangan, Bung Karno.

“Melalui acara ini, kami berharap bisa menjadi bagian dari pembangunan Kabupaten Klaten, seperti nasehat Romo Dr. R. Soeharto kepada anak-anaknya agar menjadi manusia berguna, yang senang berbuat kebaikan, saling menasehati dengan kebenaran, serta bermanfaat bagi banyak orang,” paparnya.


Referensi

· Tautan Rahadian, Arief. "Mengenal Dr. R Soeharto, Sang "Bapak" PKBI". Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia. Diakses tanggal 16 November 2019.

·  Tautan Wikipedia Bahasa Indonesia, Soeharto Sastrosoeyoso.

· Artikel detik Jateng, Mengenal R Soeharto, Dokter Pribadi Bung Karno Asal Tegalgondo Klaten. Buku Saksi Sejarah, DR. R. Soeharto (1984). Jakarta, PT Gunung Agung.

·  Artikel Website Pemkab Klaten, Ruas Jalan Gebyok-Jimbung Resmi Dinamai Jalan Dr.R.Soeharto

·  Buku Saksi Sejarah, DR. R. Soeharto (1984). Jakarta, PT Gunung Agung.




 


Senin, 31 Januari 2022

CERITA SEDIKIT DIBALIK EDARNYA BUKU KISAH BRANG WETAN









Cover Buku Kisah Brang Wetan


Buku Kisah Brang Wetan yang telah diterjemahkan oleh Karsono Hardjoseputro adalah buku yang berdasarkan Babad Alit karya (NN) dan Babadé Nagara Patjitan adalah karya Eyang Gandaatmadja (membacanya: Gondoatmodjo), beliau Eyang Gondoatmodjo bukan hanya menyajikan sejarah Ponorogo dan Pacitan, melainkan juga seluruh sejarah Madiun Raya bahkan sampai ke Surakarta, Trenggalek, Kediri, hingga Pajajaran di Jawa bagian barat. Kedua babad, Babad Alit (NN, 1911) dan Babadé Nagara Patjitan (Gandaatmadja, 1924), belum banyak dikenal. Dalam berbagai tulisan yang mengulas sejarah wilayah Brang Wétan (kini Jawa Timur), kedua babad ini belum dijadikan sumber rujukan. Tampaknya, sebelum sempat dibaca banyak orang, kedua babad telah berpindah ke luar negeri dan menjadi bagian dari Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda. Kini, keduanya telah “pulang kampung”, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan menjadi satu buku.

Terjemahan tersebut juga disertai lampiran berupa catatan harian kapal Belanda, Pollux, yang sempat membuang sauh di Pacitan pada masa Perang Jawa. Dengan demikian, pembaca dapat dengan mudah menguji keandalan teks-teks babad tradisional dengan sumber Eropa seperti ini. Perkembangan penelitian sejarah kiwari (majalah kebudayaan berbahasa sunda) telah menunjukkan bahwa historiografi tradisional seperti babad juga mengandung informasi penting, sehingga sejarah setempat dapat ditulis dengan lengkap. Karena itu, kehadiran buku ini diharapkan membuka kesempatan bagi sejarawan dan masyarakat luas untuk merangkai kembali sejarah Madiun Raya yang lebih lengkap.

Kegemaran Eyang Gondoatmodjo dalam menulis buku tidaklah diragukan, selain informasi yang berharga dari Dik Akhlis Syamsal Qomar saat kami bertemu di Dolopo, waktu itu saat sowan ke nDalem Eyang Gondoatmodjo kami mendapatkan informasi bahwa di nDalem (Rumah) beliau terdapat tempat berupa bak berdinding untuk mencuci kulit lembu yang disinyalir sebagai bahan untuk membuat sampul buku, juga terdapat peninggalan Eyang Gondoatmodjo berupa dua poster lukisan cetakan terbitan Bale Pustaka, atau lebih tepatnya Lampiran dari Majalah KADJAWAN Wedalan Bale Poestaka, dan lalu terdapat sebuah kamar yang diatas pintunya bertuliskan huruf aksara Jawa "Panti Panurat 1934" (artinya : Tempat Menulis 1934) yang kemungkinan tempat itu selesai dibangun tahun 1934, dan selain bukti-bukti tadi ialah Ayahanda beliau sendiri, ibarat peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, yang mana Ayahanda beliau yaitu Eyang R.Gondowerdoyo juga seorang penulis babad, selain menulis babad Gajah Surengpaten dan babad Sewulan yang kini belum diketemukan keberadaannya, beliau menulis Babad Madja dan Babad Nglorog yang pernah dicetak oleh Bale Pustaka Batavia Centrum tahun 1935, konon buku babad tersebut ternyata sampai detik ini masih ada yang tersisa dan menjadi buku terlangka koleksi Perpustakan Universitas Gajah Mada (UGM), dengan No. Inventaris 17/3115 Pus/T/H/0.1 Klas 959.828 yang dihibahkan oleh Ir. Koko Widayatmoko pada tahun 2016.

Bagi saya pribadi sangatlah mengharukan yang mana foto sebuah lukisan diri Eyang Gandaatmadja (Gondoatmodjo) sang penulis naskah Babade Nagara Patjitan disertakan didalam halaman buku Kisah Brang Wétan, lukisan diri beliau tersebut saya potret ulang dengan sebuah Digital Camera di dalam nDalem Eyang Gondoatmodjo, dan tentunya atas seijin Mbak Atik kerabat saya Trah Sosroredjan, Sewulan, & Prawirodirdjan yang kini mendiami nDalem Eyang Gondoatmodjo. Dan hal ini tentunya adalah peran Dik Akhlis Syamsal Qomar yang juga selaku asisten Prof. Peter Carey. Sekiranya kini suwargi Eyangpuh (Eyang Sepuh) Buyut Gondoatmojo juga turut bergembira atas usaha-usaha para akademis sejarawan yang bergerak dibidangnya untuk mengangkat karya tulisan beliau, demi pengetahuan sejarah Indonesia. Al-Fatihah.


             Lukisan wajah diri Eyang R. Gondoatmodjo terdapat diatas Pintu di dalam nDalem beliau          

  
                    

   

 Bak berdinding tempat untuk mencuci Kulit

   

 Panti Panurat 1934 (Tempat menulis)

 

 

 

 

 

 

 

 


Kamis, 29 Oktober 2020

R. NYAI SOSROREDJO (R. NYAI MUDJILAH)

R.Nyai Sosroredjo (R. Nyai Mudjilah)

Eyang putri R.Nyai Sosroredjo memiliki nama asli R.Nyai Mudjilah, beliau adalah garwo (istri) dari R.Kyai Sosroredjo, Eyang putri R.Nyai Sosroredjo sendiri berasal dari Sewulan-Kabupaten Madiun dan setelah menikah mengikuti sang suami yang telah babad alas di Dolopo untuk membuka beberapa lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman masyarakat Dolopo. Keseharian Eyang Putri yaitu mendampingi Eyang R.Kyai Sosroredjo sebagai seorang Palang Dolopo (waktu itu belum ada istilah Camat) dimana seorang Palang membawahi beberapa Demang di seluruh wilayah Dolopo dan lalu sebagai Mantri Bupati Madiun 3 (tiga) tahun lamanya pada jaman Bupati Madiun dipegang oleh R.Mas Tumenggung Adipati Sosronagoro, dan selepas itu menjalani kesehariannya sebagai seorang Petani dengan dibantu dua orang abdinya.

Berdasarkan solosilah keluarga kami, beliau adalah putri bungsu dari Patih Madiun yaitu R.Sosrodirdjo pada masa Bupati Kanjeng Pangeran Adipati Ronggo Ario Prawirodiningrat. R. Sosrodirdjo adalah putra R. Kyai Muhammad Santri yang menikah dengan putri dari Kyai Ageng Basyariyah alias R.Mas Bagus Harun (babad desa dan pemimpin Desa Perdikan Sewulan) yang masih keturunan R. Ayu Retno Dumilah (garwo Panembahan Senopati Mataram) putri Bupati Madiun ke-1 yaitu Pangeran Timoer. Sang Ayah menjadi Patih Madiun pada 
masa Bupati R. Ronggo Ario Prawirodiningrat putra dari R. Ronggo Prawirodirdjo III.


Dan berdasarkan solosilah keluarga besar Prawirodirdjan Madiun, dari jalur Ibunda beliau Eyang putri R.Nyai Sosroredjo sebetulnya masih berpangkal dari keturunan Bupati Madiun ke-15 & Wedana Bupati Mancanegara Timur wilayah Madiun bawah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu R. Ronggo Mangundirdjo (R. Ronggo Prawirodirdjo II) dan Bupati Rajegwesi/ Bupati Bojonegoro Kanjeng R. Tumenggung Sosrodiningrat. Jadi sudah jelas beliau ini terhitung sebagai salah satu Cucu Canggah (Canggah Dalem atau Canggah Sultan) dari dua jalur yang sama-sama berhulu sampai dengan Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I (HB I) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yang mana garwo Bupati Madiun R. Ronggo Mangundirdjo yang bernama BRAy. Ronggo Mangundirdjo HB I dan garwo Bupati Rajegwesi Kanjeng R. Tumenggung Sosrodiningrat bernama BRAy. Sosrodiningrat HB I. Berdasarkan Serat Raja Putra Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang mana Kanjeng Sultan HB I memiliki kedua putri tersebut dari garwo Klangenan (garwo selir) yaitu  BRAy. Srenggoro dan BMAy. Mindoko, yang mana BRAy. Srenggoro yaitu Ibunda dari
BRAy. Ronggo Mangundirdjo HB I, dan BMAy. Mindoko adalah Ibunda dari BRAy. Sosrodiningrat HB I.

Jadi tidak mengherankan apabila keturunan beliau dimasa Indonesia telah Merdeka ada yang sebagai pejuang pahlawan Kemerdekaan Indonesia, ada yang menjabat sebagai Bupati Nganjuk, menjadi Bupati Bekasi, menjadi Wedana dan rata-rata sebagai insan Manusia yang bermanfaat berguna bagi alam dan sekitarnya. Tekad dan perjuangan para leluhur sebagai suri tauladan untuk melangkah kedepan agar segala perilaku para keturunan selalu bisa mawas diri sesuai kapasitasnya masing-masing yang sudah digariskan oleh Allah SWT.

Disebutkan dalam Warta Sosroredjan bahwa Eyang Putri R.Nyai Sosroredjo sangat tekun beribadah dan bekerja keras mendampingi sang suami dalam menghidupi putra-putrinya sebanyak 9 (sembilan) orang, kesemuanya telah berhasil yang putra-putra ada yang sebagai Asisten Wedana,
Onder Collectour, Guru, Mantri Guru, dan yang putri-putri sebagai istri dari Mantri Gudang Kopi, Sipir, dan Guru. Eyang Putri R.Nyai Sosroredjo sangat gemar menolong orang, bahkan seorang wanita yang buta sekalipun beliau tolong diberikan pekerjaan dan diberi upah.

Setelah beliau wafat beliau dimakamkan berdampingan disebelah makam Eyang R. Kyai Sosroredjo di Dolopo.

Minggu, 27 September 2020

PENULIS BABAD PACITAN TERNYATA ADALAH ORANG DOLOPO YAITU R.Ng.GONDOWARDOYO, PUTRA no. 4 R.Kyai SOSROREDJO






Beberapa bulan yang lalu saya bersama seorang Sejarawan Muda yang masih saudara kita sesama Trah Eyang R.Ronggo Prawirodirdjo II yaitu Akhlis Syamsal Qomar, kami melakukan riset penelitian sejarah di Dolopo, tepatnya di Sosroredjan JL. Asem Payung, Desa Dolopo, Kec. Dolopo ranah Eyang R.Kyai Sosroredjo, beberapa lokasi situs bersejarah kami kunjungi yaitu pesarean keluarga besar Sosroredjan, di situs tersebut terdapat pesarean Eyang Canggah R. Ngabei Gondowardoyo, nama sosok tersebut ternyata mengingatkan saudara kita Sejarawan tadi yaitu Akhlis Syamsal Qomar akan sesuatu nama yaitu Gondoatmodjo dan Gandawardaja penulis Babad Pacitan. Beliau bertanya kepada saya Mas Brahm, Eyang Gondowardoyo apa penulis babad?

Pertanyaan Dik Akhlis Syamsal Qomar membuat saya bertanya dalam hati pada saat kami berdua menuju Pesarean Ageng, namun pertanyaan itu sebisa mungkin saya bantu untuk menguraikan, seketika wajah Eyang Gondowardoyo hadir dalam benakku, setahuku Eyang Gondowardoyo dulu memiliki seorang garwo selir yang berasal dari Pacitan, dan Eyang Gondowardoyo setahuku beliau juga penulis babad Gajah Surengpaten dan babad Sewulan, namun sayangnya manuskrib bersejarah itu tidak sisa sama sekali atau mungkin masih disimpan oleh sederek lain, beberapa kutipan mengenai babad Gajah Surengpaten hanya saya temui didalam buku Saksi Sejarah tulisan dr. R Soeharto. 

Setelah kami sowan ke Pesarean Ageng Eyang R. Kyai Sosroredjo dan Pesarean Gajahan yaitu Pesarean Eyang Putri R.Nyai Gajah Surengpati, kami kembali menuju ke ndalem Pak Puh Mul seorang keturunan Sosroredjan, kami berbincang cukup lama, dan kami banyak mendapatkan cerita-cerita dari beliau, lajeng Dik Akhlis Syamsal Qomar melontarkan sebuah pertanyaan kepada Pak Puh Mul, “Gondowardoyo punika menopo penulis Babad Pacitan? lajeng apa kaitannya dengan Gondoatmojo?” Lalu Pak Puh menjawab Eyang Gondowardoyo dulu seorang Guru di Pacitan dan pernah menjadi Collecteur di Ponorogo, Gondoatmojo menika putra mbajengipun Eyang Gondowardoyo...” Subhanallah...kami terkejut dan kami merasa mendapat energi, beberapa pertanyaan tentang leluhur seakan-akan terbuka satu persatu, ternyata Eyang Gondowardoyo adalah seorang pengarang atau penulis Buku Babad Pacitan.

Beberapa hari kemudian Dik Akhlis mengusahakan untuk memesan buku Babad Pacitan cetakan penerbit Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Dalam buku babad Pacitan tersebut ternyata juga terdapat Babad Madja dan Babad Nglorog yang mana Eyang Gondoatmojo putra Eyang Gondowardoyo juga menyalin ulang karya Ramandanya tersebut, dan yang lebih membuat kami terkejut pada saat membaca buku tersebut adalah cerita menyingkirnya Kyai Kaliyah (Guru Spiritual Eyang R. Ronggo Prawirodirdjo III) dari Mas Tumenggung Jimat (Kanjeng Jimat di Pacitan). Buku Babad Madja dan Babad Nglorog bagian dari Babad Pacitan ternyata dikarang dan ditulis oleh R. Gandawardaja yang tak lain adalah Eyang R. Ngabei Gondowardoyo atau Gondowerdoyo, dahulu pertama kali dicetak oleh Bale Pustaka Batavia Centrum dan diterbitkan tahun 1935 serie No. 1210, buku Babad ini berisi keberadaan sejarah lokal dari daerah-daerah wilayah Kabupaten Pacitan Jawa Timur sekarang atau Sejarah lokal Babad Tanah Wengker Kidul yaitu Pacitan itu sendiri.

Buku Babad Madja dan Babad Nglorog cetakan Bale Pustaka Batavia Centrum tahun 1935 ternyata sampai detik ini masih ada yang tersisa dan menjadi buku terlangka koleksi Perpustakan Universitas Gajah Mada (UGM), dengan No. Inventaris 17/3115 Pus/T/H/0.1 Klas 959.828 yang dihibahkan oleh Ir. Koko Widayatmoko pada tahun 2016. Dan kemungkinan Buku babad tersebut juga menjadi bahan sumber penulisan ulang menjadi sebuah buku Babad Kalak (Babad Madja dan Babad Nglorog) yang dimiliki sesepuh di Kalak-Pacitan, dan ada juga yang menulis ulang seperti yang dilakukan Muakibatul Hasanah dan Aik Fela,S.Pd untuk dikaji dan diteliti kebenarannya, dan ada juga seorang akademis yang mengkaji sebagai bahan penelitian dari segi kesenian dan budayanya.

Seperti yang disampaikan Dik Akhlis Syamsal Qomar bahwa Prof. Peter Carey bilang bahwa Buku Babad Pacitan sendiri juga sebagai acuan Sejarawan dan Kolumnis Ong Hok Ham untuk menulis disertasi pada saat di Universitas Yale th. 1975, buku Babad Pacitan tersebut sebagai data lokal yang dimanfaatkan Ong Hok Ham untuk menerangkan peristiwa yang terjadi di Madiun pada masa lampau, hingga desertasi itu akhirnya menjadi sebuah buku “Madiun Dalam Kemelut Sejarah” yang dicetak oleh KPG th. 2019, dan yang mana Prof. Peter Carey juga menyampaikan Prolog dalam buku “Madiun Dalam Kemelut Sejarah” tersebut, “Bahwa disertasi Ong diharapkan mampu membebaskan orang Madiun dari -trauma- yang mereka alami gara-gara pemberontakan PKI pada September 1948 yang dipimpin Musso”.

Apa yang disampaikan Prof. Peter Carey sangat betul sekali, saya sendiri sebagai orang Madiun merasa tergerak untuk menambahkan cerita-cerita sejarah Madiun yang indah dan tidak ingin terjebak pada cerita-cerita sejarah pada masa kelam Peristiwa Madiun 1948, namun andaikan terpaksa menulis alangkah baiknya menceritakan para pahlawan-pahlawan atau para penyelamat yang berhasil memusnahkan Musso dan pengikutnya dari bumi Madiun, dan saya berharap Septian Kharisma salah satu saudara dari Trah Eyang Ronggo Prawirodirdjo I bisa membantunya. Ingin sekali rasanya melanjutkan cita-cita Eyang R.Ngabei Gondowardoyo kakak kandung dari Eyang Canggah saya yaitu Eyang Mantri Guru di Panggung R. Suparman Hardjokusumo.

Sosok R. Ngabei Gondowardoyo sendiri dimata Prof.Peter Carey disampaikan kesaya secara langsung via chat Whatsapp sebagaimana berikut: “Interesting and important family history and wonderful that a historian of Madiun Raya emerges from your family in this way” (Sejarah keluarga yang menarik dan penting dan indah bahwa sejarawan Madiun Raya muncul dari keluarga Anda dengan cara ini), seketika saya jadi teringat Prof.Peter Carey pada saat kami sama-sama di Palur-Kebonsari kediaman mantan Direktorat Jendral Kebudayaan Drs. Nunus Supardi pada akhir bulan th, 2019, waktu itu pada saat hendak naik mobil tiba-tiba Prof. Peter Carey menyebut saya dengan candaan “Kanjeng Jimat !..”

R. Ngabei Gandawardaja (Gondowardoyo)

DUKUH SANGGRAHAN TEMPAT ASAL IBUNDA PAHLAWAN NASIONAL H. Dr. R. SOEHARTO SASTROSOEYOSO

Ibundanya memiliki bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit, ternyata pekerjaan mulia tersebut menurun kepada putranya H. Dr. R. S...