KYAI SOSROREDJO
Dalam sumber naskah sejarah Kyai Ageng Gajah Surengpaten, seratan R.
Ng. Gondowerdoyo bin R. Sosroredjo (1850 – 1941) yang diterjemahkan dari tulisan asli aksara Jawa oleh R. Soediro yang juga masih keturunan R. Sosroredjo.
R. Sosroredjo (nama masa kanak-kanaknya tidak disebut). Lahir tahun 1815. Konon selagi masih sangat muda, setelah dikhitankan, meninggalkan
rumah untuk belajar mengaji, antara lain di pondok pesantren yang
terkenal diwaktu itu, yaitu pesantren Sepanjang, Sidosremo, Surabaya,
dan di Pesantren Sembilangan Madura. Seperti lazimnya pada waktu itu,
santri Sosroredjo tidak memperoleh bekal dari orang tuanya, karena itu
beliau harus bekerja agar dapat menyediakan makanan bagi dirinya
selagi menimba ilmu di Pesantren. Selain menerima pendidikan agama,
beliau dan para santri lainnya juga diberi pelajaran seni bela diri
serta ketrampilan menggunakan senjata.
Sekembalinya dari Pesantren, ketika usianya baru 20 tahun, pemuda
Sosroredjo diangkat menjadi Palang Dolopo. Pangkat Palang boleh
disamakan dengan Lurah pada masa sekarang, namun memiliki wilayah yang luas. Adapun hirarki pangkat
pejabat pangreh praja waktu itu ialah: Bupati-Wedono-Palang. Jadi
kedudukan Palang berada di bawah Wedono (Wedana). Meskipun masih
sangat muda, tapi karena pendidikan, latihan dan pengalamannya, Palang Sosrorejo mampu bekerja keras, berpendirian teguh, dan
bertindak keras.
Desa Dolopo dapat dikatakan sudah ramai terutama pasarnya. Tetapi terdapat pula hal-hal yang kurang baik. Pada hari-hari tertentu umpamanya, berdatangan banyak orang dari daerah sekitarnya, karena di Dolopo berlangsung adu ayam jago, dan tak ketinggalan pula penjualan madat. Dapat diperkirakan, diantara para pengunjung itu terdapat para penjudi dan penjahat.
Pada masa itu antara dukuh yang satu dengan dukuh yang lain
terpisahkan hutan yang lebat. Usaha merambah hutan, membuka jalan,
memperluas daerah pemukiman, mencetak persawahan dan tegalan,
ternyata kurang lancar karena masih terhambat oleh pengaruh takhyul.
Tempat-tempat tertentu, bahkan pepohonan, dianggap angker sehingga
tidak boleh dirambah. Ular pun tidak boleh dibunuh karena disangka
akan mendatangkan musibah. Mengusir kalong dari daerah pertanian juga
dilarang, karena kalong disangka binatang piaraan makhluk halus.
Tetapi bagi Palang Sosrorejo berani mengikis anggapan tersebut
dengan meyakinkan penduduk bahwa anggapan semacam itu keliru belaka.
Diceritakan dalam kitab sejarah itu, dengan senjata tombak dan bedil
beliau berhasil membunuh ular-ular besar yang bersarang dalam gua,
dan membinasakan macan sampai 30 (tiga puluh) ekor. Beliaupun berhasil
meringkus penjahat-penjahat terkenal yang menggangu di wilayah
Dolopo.
36 (Tiga puluh enam) tahun lamanya Kyai Sosroredjo menjabat sebagai Palang di Dolopo. Ketika usia beliau 56 (lima puluh enam) tahun, beliau
diangkat pangkatnya untuk menjabat sebagai Mantri Kabupaten di Madiun.
Tetapi hanya tiga tahun bertugas di Madiun, atas permintaan beliau sendiri karena pertimbangan usia. Selanjutnya kembali
berdiam di Dolopo, untuk berkosentrasi mengerjakan sawah dan menjala ikan, dibantu dengan kedua abdi yang menyertainya.
Dalam usia yang telah lanjut, beliau membuat kolam. Alat yang
digunakan untuk menggali kolam itu hanya palu besi kecil yang
dipertajam. Tiga bulan lamanya – siang malam – beliau membuat
kolam itu. Tampaknya beliau berniat menjauhkan diri dari keduniawian, beliau hanya makan bila ada tamu, dan istirahatnya hanya di kala
bersujud.
Setelah kolam itu siap. Maka terbentuklah sebuah “Sendang”.
Diatas permukaan air dibuatlah amben (semacam dipan, tempat
pembaringan) dari Bambu. Disanalah beliau bertafakur sampai 3 (tiga)
bulan 10 (sepuluh) hari. Kadangkala saja beliau makan, dan yang dimakan
hanyalah buah pace yang jatuh dari pohon-pohon pace di sekitar
Sendang itu, semenjak laku tirakat dan tapa brata itulah beliau banyak disebut orang sebagai Kyai "Kyai Sosroredjo".
Hanya selama 10 (sepuluh) hari beliau tinggal di Rumah, selanjutnya
kembali bertafakur selama 15 (lima belas) hari di atas Sendang. Di Rumah
beliau menderita sakit. Tetapi setelah sembuh, kembali pula ke atas
sendang untuk menepi melanjutkan tafakurnya.
Akhirnya beliau menderita sakit lagi sampai 20 (dua puluh) hari lamanya.
Para putera dipanggil semuanya. Tetapi karena tampak sembuh, para
putera diperkenankan pulang. Sebulan kemudian beliau menderita sakit
lagi, dan beberapa hari kemudian wafat. Ketika itu usianya mencapai
72 (tujuh puluh dua) tahun, dan bertepatan pada tahun 1887.
Salah satu wejangannya yang selalu diingat oleh keturunannya ialah:
“Janganlah sampai menjadi beban orang lain". "Janganlah pula
menghisap keringat orang lain, sebak anak cucunyalah yang akan
menderita pembalasan".
Sumber: Disarikan dari Buku Saksi Sejarah-Dr.R.Soeharto dan cerita tutur dari Sesepuh Sosroredjan-Pak Puh Moeljono.