Senin, 25 September 2023

PENYELAMATAN SANG SAKA MERAH PUTIH

 


Dikisahkan oleh Dr.R.Soeharto keturunan R. Kyai Sosroredjo ing Dolopo, mengenai perannya dalam penyelamatan Sang Saka Merah Putih.

Pada awalnya keberadaan Sang Saka Merah Putih dibuat oleh Zus Fat panggilan Dr.R.Soeharto kepada Ibu Fatmawati, Fatmawati yang menjahit dua kain menjadi dwi warna: Merah Putih. Subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata.

Fatmawati yang menyambutnya dengan cemas, melihat betapa Bung Karno teramat pucat. Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat. Seperti dituturkan kepada Cindy Adams, Sukarno mengisahkan bahwa Fatmawati cukup mengerti gejolak hati Sukarno, sehingga membiarkannya tetap bekerja. Tubuhnya menggigil diserang malaria, tetapi jiwanya jauh lebih bergejolak menyongsong Indonesia merdeka sebentar lagi.

Jelang kemerdekaan kira-kira pukul 08.00 dikamar Bung Karno JL. Pegangsaan Timur 56. "Pating greges," begitu kata Bung Karno setelah membuka mata. Gejala malaria tertiana timbul setelah kunjungannya ke Makasar, segera Dr.R.Soeharto memeriksa Bung Karno, meskipun Dr.R.Soeharto tidak menemukan gejala-gejala lain, tetapi atas persetujuan Dr.R.Soeharto memberikan suntikan chinine-urethan intramusculair, selanjutnya mempersilahkan minum broom chinine.

Dr.R.Soeharto menerangkan keadaan Bung Karno kepada Fatmawati dan mengemukakan saran agar Bung Karno dibiarkan tidur sampai panasnya mereda. Selang sejam lebih Dr.R.Soeharto kembali kedalam kamar Bung Karno dan terus menungguinya. Kira-kira pukul 09.30 beliau bangun, dan badannya sudah tidak panas lagi. "Sudah jam setengah sepuluh, Mas" kata Dr.R.Soeharto, Bung Karno segera turun dari tempat tidur sambil berkata "Minta Hatta segera datang"

Fatmawati sendiri bukannya bugar. sebelumnya Ia mengikuti benar hari-hari, jam-jam menjelang proklamasi di Rengasdengklok. Dan itu sungguh melelahkan. Termasuk, ia harus menyiapkan bendera merah putih untuk keperluan upacara kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Bendera jahitan tangan Fatmawati itu pulalah yang dikibarkan pada momentum proklamasi.

Bendera itu pula yang kemudian menjadi pusaka negara: Sang Saka Merah Putih. Nilainya begitu sakral. Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah proklamasi, berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya. Tonggak kemerdekaan sudah ditancapkan, sang merah putih sudah berkibar, nyawa-nyawa jiwa merdeka siap menjaganya agar tetap berkibar dan terus di angkasa Indonesia.

Satu hari, dua hari, satu pekan, dua pekan… Sang Merah Putih tetap berkibar. Sementara itu, pasukan Sekutu dikabarkan mulai mendarat di sejumlah pantai dan kota-kota Indonesia. Detik-detik perang mempertahankan kemerdekaan, sudah di depan mata. Sukarno sudah menghitung situasi itu. Surat-surat yang ditulisnya di subuh 17 Agustus 1945, antara lain berisi instruksi kepada para pemimpin pergerakan.

Kepada yang satu, diperintahkan untuk menghimpun kekuatan untuk kepentingan pertahanan. Kepada yang lain, Sukarno memerintahkan agar mengambil alih pemerintahan mulai dari tingkatan desa. Dan surat lain berbunyi, “Besok Saudara akan mendengar melalui radio, bahwa kita sekarang telah menjadi rakyat yang merdeka. Begitu Saudara mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah di setiap kota dalam daerah Saudara.”

Waktu melintas tahun, ketika Sekutu benar-benar mendarat dan ingin melucuti senjata-senjata dari para pejuang Indonesia yang telah merdeka. Mereka menangkap, menahan, bahkan membunuh para pejuang kita. Sukarno dan keluarga yang tak lagi aman di Jakarta, hijrah ke Yogyakarta. Dengan demikian pindah pula pemerintahan pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Lantas bagaimana nasib bendera pusaka yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945?

Sejarah selalu mencatat peristiwa-peristiwa bersejarah. Sang bendera pusaka, adalah sejarah yang mutlak harus dicatat. Dalam situasi negara chaos, menghadapi pertempuran melawan Sekutu di satu sisi, serta menghadapi perundingan di sisi yang lain, ternyata ada sekuel yang menarik tekait bendera pusaka kita.

Adalah intelijen Sekutu yang tercium tengah mengendus-endus keberadaan bendera pusaka. Barangkali, upaya mereka menenggelamkan bahtera Indonesia merdeka, tidak afdol kalau tidak bersamaan dengan penguburan sang pataka. Karenanya, pencarian bendera merah putih –untuk dimusnahkan– berlangsung di antara peperangan dan perundingan.

Sang dwi warna, rupanya sudah diamankan oleh para pejuang kemerdekaan. Ia disimpan, disembunyikan, dilindungi dengan nyawa. Tidak hanya itu, sistem penyimpanan pun dibuat mobile, bergerak terus dari satu rumah ke rumah lain, dari satu tempat ke tempat lain. “Pemunculan” sang merah putih berhasil direkam oleh Dr. R.Soeharto, dokter pribadi Bung Karno pada April 1949.

Dr.R.Soeharto sendiri tidak tahu, di mana sang merah putih antara kurun 1945 – April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949 ia kedatangan tamu misterius bernama Mutahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat duta besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan, telah dilepas jahitannya, dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda maha penting bagi tonggak berdirinya republik.

Mutahar, malam itu, menitipkan sang dwi warna kepada Dr.R.Soeharto. Mendapat amanat penting, Dr.R.Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat, dan kain putih jauh di tempat lain. Maksudnya, menjaga kemungkinan penggeledahan NICA.

Tercatat, tidak lama sang merah putih disimpan di rumah Dr.R.Soeharto di Jl. Kramat 128, Jakarta Pusat. Beberapa malam berikutnya, Muthahar kembali datang untuk mengambil dua potong kain pusaka tadi, dan memindahkannya ke tempat berbeda. Entah berapa kali, puluh kali, ratus kali Muthahar menyelinap, mengendap, memindahkan tempat persembunyian bendera proklamasi. Satu tekad dikandung badan, benda pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan Belanda, dan akan tetap menjadi pusaka kita selama-lamanya.

Tuhan Maha Besar. Sang merah putih, meski tak lagi semerah darah dan seputih melati, tetapi dia tetap utuh hingga hari ini. Merahnya yang memudar digerogoti waktu, tetap menyiratkan tekad berani semerah darah. Meski putihnya menguning diretas waktu, tetapi putihnya tetap menyiratkan tekad suci seputih melati. Dan dia, adalah perlambang Ibu Pertiwi, yang akan kita bela sampai mati.

Siapa Mutahar ? 

Mutahar

Mutahar nama lengkapnya adalah Husein Mutahar biasa disingkat H. Mutahar adalah seorang yang aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI.

Namun  di negara kita H.Mutahar lebih terkenal sebagai seorang komponis musik Indonesia,  terutama  untuk  kategori  lagu  nasional  dan  kepanduan.  Lagu ciptaannya yang popular adalah hymne Syukur (diperkenalkan Januari 1945) dan mars Hari Merdeka (1946). Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku, menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Lagu kepanduan ciptaannya, antara lain "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Slamatlah", "Jangan Putus Asa", "Saat Berpisah", dan "Hymne Pramuka"

H. Mutahar juga sebagai salah seorang ajudan Presiden, Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.

Pada tahun 1967, H. Mutahar sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Mutahar diminta Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu; kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera; kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Refrensi : Disarikan dari berbagai sumber seperti wikipedia, Facebook, dan terutama dalam buku autobiografi Dr.R.Soeharto yang berjudul "Saksi Sejarah"

DUKUH SANGGRAHAN TEMPAT ASAL IBUNDA PAHLAWAN NASIONAL H. Dr. R. SOEHARTO SASTROSOEYOSO

Ibundanya memiliki bakat dalam mengobati dan menyembuhkan orang sakit, ternyata pekerjaan mulia tersebut menurun kepada putranya H. Dr. R. S...